Jalan Yuk

Post a Comment


Teruntuk kamu, seseorang di masa laluku yang telah berbagi kasih bersamaku. Aku tak tahu harus merasa apa, sebuah kesedihan yang tak mampu terungkap. Sebuah penyesalan yang sampai kini tak mampu berubah.

Aku ingin mengucapkan kata terimakasih teruntuk kamu, para kekasihku yang mau bergantian mendampingi hati kecil ini. Kasihmu yang begitu besar tak mampu kubalas dengan cinta. Perjuangan tulusmu kusiakan lalu pergi.

Aku membenci diriku, sebagai pemalu akut yang tak berkompromi. Aku lebih memilih mematahkan hati seseorang untuk kabur dan menuruti hasrat maluku. Maafkan aku.

Kau ingat, ketika kau mengajaku kesebuah wahana permainan. Sudah menjadi umum sepasang kekasih mengunjungi wahana tersebut. Namun kupatahkan hasutan penuh senyum itu dengan tolakan yang begitu dingin. Seyummu tak secepat itu pudar, kau tahan lesung pipitmu dan perlahan menghilang selaras dengan tundukan wajahmu.

Maafkan aku, yang tak pernah merasa kasihmu. Aku mencintaimu, namun maluku menutupi semuanya, hingga kedinginan yang mampu kusajikan terhadapmu kasih.

Dilain waktu aku berusaha untuk merubahnya, memberanikan diri untuk menyentuh tanganmu, lalu memandang kedua bola matamu dengan lembut. Kedua lesung pipitmu perlahan muncul, bersamaan tangan kananmu yang sedari tadi menggenggam sebuah handphone, kau letakan lalu menyambut tangan kasar ini dan berkata, “Ada apa sayang?”

Begitu jelas raut kegembiraan di wajahmu. Tak seperti hari biasanya kau senyum dengan paksa, kini kedua lesung pipit itu nampak dengan begitu percaya dirinya. Kemudian kulontarkan sebuah pertanyaan yang sedari malam kupelajari agar tak terlalu gemetar ketika mengucapkanya. “Jalan yuk!”

Kau mengangguk, bersama senyumu yang sedari tadi tak terputus sejak kumencengkram tanganmu. “Aku tak mempunyai tujuan, kemanapun asal bersamamu” pinta manismu.

Dengan rasa masih percaya diri, ku undurkan sepeda motorku lalu memboncengmu keliling kota. Bodohnya aku yang tak berpengalaman ini memboncengmu keliling kota tida henti, tak memikirkan perutmu yang kosong atau punggungmu yang lelah setelah dua jam berkeliling tida henti. Ditambah tak ada percakapan sedikitpun di antara kita.

Sesampainya di rumahmu, kau turun dengan tersenyum. Dengan wajah kusutmu itu, kau paksakan lagi lesung pipitmu menghadap di wajahku. Aku hanya membuat bahagiamu sesaat, namun kusiksa dirimu dengan keluguanku.

Aku merasa iba kepadamu, dengan keluguan kusiksa dirmu kasih. Dengan santainya kuputuskan tuk meninggalkanmu, untuk mengakhiri semua penyiksaan ini. Namun kau bersikukuh mengatakan tak keberatan dengan semua hal ini. Namun diriku tetap keras kepala lalu pergi.

Aku melihat air matamu jatuh ke pelupuk senja. Kamu tak pernah melakukan kesalahan, namun perpisahan tetap terjadi. Kamu telah berusaha menggenggamnya, namun kumelepasnya dengan paksa. Entah sehancur apa hatimu saat itu. Ditinggal kekasih yang sangat kamu cintai, dan aku tak pernah tahu karenaku tak pernah ingin tahu.

Setahun lebih kupergi, mencoba mencari yang lain untuk kisah berbeda. Namun pada akhirnya kisah lama tetap menghiasiku. Menyakiti hati seseorang yang telah yakin menaruh hati padaku. Sebuah kecerobohan yang tak mampu ku rubah, atau memang aku yang tak pernah mau merubah?



Penulis: Fadul

Related Posts

Post a Comment