Sudahlah

Post a Comment


Sesekali aku bertanya mengenai kabarmu pada diriku sendiri, yang tentunya tak akan pernah ku tau jawaban tepat mengenai keadaanmu kala ini. Walau ku tahu, bahwa mengingatmu sama saja dengan merujam hati ini dengan belati tajam.  Namun hati tak akan pernah puas bila tak bertanya.

Ku beranikan diri membuka akun sosial mediamu dari beberapa situs. Dengan perasaan hati teriris dan perut sedikit mulas, aku memberanikan diri untuk memulai pencarian kabarmu. Hanya sekedar ingin mengetahui, apakah kamu sehat ataupun sebaliknya.

Namun seperti biasa, tak ada sedikitpun postingan akhir-akhir ini di akun sosmedmu. Lagi-lagi aku menghembuskan napas dengan panjang, dan berpikir dimana lagi aku mencari kabarmu. Tak ada cara lain selain memendam rasa penasaranku kembali kedalam alam bawah sadarku.

Kamu ingat kisah kita dulu. Tentang kisah kita yang tiada henti membicarakan kegiatan kita di setiap hari. Terkadang kamu tertimpa masalaha lalu ku tenangkan, atau sebaliknya ku tertimpa masalah dan kamu menenangkan. Sungguh sabar hatimu menenangkanku kala kusedih. Padahal kala itu aku sedih meluapkan rasa kesal yang menjadi amarah yang kutuangkan secara halus padamu. Namun kamu tetap bersabar.

Kenangan itu yang membuatku teringat padamu, momen dimana kita saling berbagi tentang semua hal, suka maupun duka. Hingga pada akhirnya kau pergi tanpa kusadari. Kau menghilang dengan waktu yang cukup lama. Sampai hati kumerintih kesepian terlepas kepergianmu. Menjadi orang pendiam layaknya manusia yang terselip mahluk halus di dalam tubuhnya, dan memandang kosong di setiap arah.

Kamu tak tahu disaat kehadiranmu lagi menjadi batas akhir dari sekian lama kepergianmu. Aku anggap sebagai bianglala yang menjadi pengharapanku kembali. Namun sial ketika kamu hadir bersama tangan lelaki yang kamu dekap erat bersama genggamanmu. Tak perlu ku pertanyakan, dan tak perlu kamu menjelaskan. Sebagai lelaki waras, aku mengerti dan paham mengenai situasi seperti ini.

Kuputuskan untuk membencimu lalu benar-benar pergi dan menjauh dari kehidupanmu. Memandang wajahmu menjadi barang haram dimataku. Berbagai alasan akan menjadi perioritasku untuk menghindar darimu. Seandainya kamu tau rasa pedih yang aku rasakan, aku yakin kamu tak akan pernah berani melakukan hal ini kepadaku.

Namun semua tampak jelas ketika kamu menyentuhku berkali-kali dengan telunjuk mu, hanya ingin bertanya mengenai suatu hal. Rasa sayang itu masih tampak begitu jelas aku rasakan. Namun aku beruntung tidak tenggelam kedalam suasana dan membalas kasihmu, dan tetap sanggup berkomitmen untuk tidak memandangmu secara langsung.

Karna aku yakin, tak ada hal yang perlu dijelaskan dan dipertahankan lagi. Ini semua hanya perihal melupakan, dilupakan, dan merelakan.



101216
Penulis : Faqih Fadul

Related Posts

Post a Comment