Misteri Kematian Dito

Post a Comment



Siapa sangka hari itu adalah hari keberuntungan Dito, memenangkan perlombaan karya ilmiah nasional. Dito sendiri tak menyangka, bahwa jeri payah Dito akan berbuah semanis ini, dia tidak sabar untuk segera kembali ke rumah dan merayakan kemenangannya ini bersama keluarga dan para sahabatnya.
“Mungkin malam ini aku akan segera beristirahat, aku tak sabar untuk melihat esok pagi dan segera pulang.” Jawab Dito dengan peserta perlombaan.
“Itu pilihan yang bagus sang juara, kuharap tahun depan kau akan memandangku dari bawah sini, dan ku akan melambaikan tangan ku kepadamu di atas panggung itu.”
“Tentu saja, tapi aku tak akan menghilangkan eksistensi ku di atas sana.” Dito tersenyum sembari memegang bahu Rio.
“Kau memang orang yang tangguh,” Rio membalas senyum dan memegang bahu Dito. “Oya... bagaimana dengan malaikat itu?” Rio menunjuk ke arah panggung. Kemudian Dito menoleh selaras dengan arah tangan Rio. Dito tersenyum
“Aku akan mendapatkan malaikat itu”
“Kalau begitu, perlihatkan pada ku bahwa itu bukan omong kosong,” Tiba-tiba muka Dito berhenti tersenyum dan berubah menjadi dingin, pertanda dia akan melakukan hal yang serius. Lalu dia merapihkan jasnya beserta rambutnya. Melangkah perlahan dengan tegap menghampiri malaikat itu dengan percaya diri. Kemudian menyambar sepasang gelas anggur pada pelayan yang berpapasan denganya.
“Mungkin malam ini akan menjadi awal mula kau putus dengan Rangga,” bisik wanita yang berada di samping malaikat itu, melihat Dito berjalan dengan tegap menghampiri ketiga wanita itu.
“Hai... kenalin aku Dito,” Dito menyodorkan tanganya kepada malaikat itu dengan senyum tipis tida henti.
“Kurasa kau tak perlu memperkenalkan diri sang juara, karna kami semua mengenalmu” suara indah itu terlontar dari mulut malaikat itu. “Rani,” kemudian ia menyambut tangan Dito bersama senyum manisnya.
“Bibir yang manis” rayu Dito
“Lesung pipi yang indah” sahut Rani. Kemudian Dito mendaratkan bibirnya kepada Rani dengan perlahan dan mesrah. Membuat kedua teman Rani segera mempalingkan pandanganya ke segala penjuru arah, lalu pergi.
Tak jauh dari Dito dan Rani, Rio memandang mereka yang sedang bermesrahan, membuat mata Rio terbuka dengan lebar dan sangat sulit menelan air liurnya sendiri. Dari sudut yang tak jauh dari Dito dan Rani, Rio memandangin mereka berdua yang telah asik berbicara, saling bertukar informasi, dan tak lama setelah itu Dito menghampiri Rio yang telah berdiri tegang menunggu ceritanya.
“Kau memang bejat boy, menciumya di keramaian seperti ini?” sambar Rio dengan mata yang melotot.
“Jangan terkejut, aku belum serius denganya” Dito kembali bersenyum tipis dan memalingkan mukanya.
***
Tiga hari kemudian, Dito mengadakan pesta ulang tahunya yang ke 20 tahun sekaligus merayakanya keberhasilannya menjuarai perlombaan karya tulis ilmiah nasional. seluruh teman, sahabat, dan sodara ia undang untuk memeriahkan pesta malam itu. Dito merasa bahagia melihat pestanya berjalan dengan lancar dan meriah. Suasana gaduh, memadati halaman rumah luas Dito, hingga tak ada lagi tempat untuk berbicara santai. Ibu Dito menyarankan sebagain temanya untuk masuk kedalam rumah. Namun tak sampai masuk ke lantai atas, karna Yuni telah memesannya untuk memberikan kejutan kepada Dito. Yuni tak ingin kejutan spesialnya di ganggu oleh siapapun.
“Dito, mana pacar lo” tanya Robi, teman kampus Dito.
“Mana gua tau, masa bodo dia mau dateng apa engga” jawab sinis Dito
“Gila lo ya, punya pacar cantik lo cukein, mendingan buat gue aja ya hahaha” Robi menepuk pundak Dito.
“Dito, bisa ambilkan mama artikelmu!” teriak ibu Dito dari kejauhan. Seketika muka sinis Dito berubah menjadi ramah dan segera menghampiri ibunya.
Melihat Robi ditinggal pergi oleh Dito, kemudian Rangga menghampiri Robi.
“Gua cuman kasihan aja ngeihat orangtuangnya, kalau kenyataanya Dito gak sebaik yang mereka kenal, dasar penjilat,” Rangga berdiri di samping Robi sembari memandang punggung Dito yang sedang berlari menuju pintu masuk rumahnya. Robi yang dari tadi memandangi Dito berlari, perlahan melirik Rangga disamping kananya.
“Maksud lo?” tanya Robi.
“Lo tau kan sikap buruk Dito kalo sama cewek?” jawab Rangga yang masih memandang tajam pintu masuk yang telah di lewati Dito.
“terus?” Robi mengkerutkan kedua alinya dan menggantung kan rasa penasaranya kepada lotaran katanya
“Cewek gue termasuk korbanya”
“Apa...!!! gila tu Dito, pacar temen di embat juga?” Robi menjadi histeris mendengar itu
“Gue bakal beri pelajaran pada tu bocah,” Rangga menghentikan pandangan tajamnya dan segera pergi menjauh dari Robi.
***
Dito segera berlari menuju kamarnya yang berada di lantai atas, Dito terhenti dan terkejut melihat lantai atas begitu gelap tanpa adanya cahaya yang terpacar dari atas sana. “Gak biasanya lampu atas mati total?” kemudian Dito melanjutkan jalanya, melangkah dengan perlahan menaiki tangga yang berputar. Selangkah demi selangkah Dito berjalan sembari meraba pagar tangga. Di tengah tangga Dito menghentikan langkah kakinya dan memandang tajam ke atas yang begitu gelap. Dito tampak ragu untuk melanjutkan langkahnya, lalu dengan sekuat tenaga iya mengumpulkan keberanianya dan lalu segera berlai dengan kencang, menaiki tangga tanpa harus berpegangan dengan pagar tangga lagi. Sesampainya di lantai atas, Dito tidak menghentikan langkahnya, ia laulu menuju kamarnya yang berada tak jau dari tangga, namun beberap jangkah Dito menabrak sesuatu.
“Aduh...”
“haaaaa...!” Dito berteriak dan terjatuh, ia segera berdiri namun kakinya terasa lumpuh seketika dan membuatnya menarik kakinya mundur dari benda yang telah ia tabrak.
“Siapa kamu?” tanya Dito panik. Beberapa detik kemudian ruangan itu menjadi terang.
“Selamat ulang tahun sayangku,” nampak wanita cantik berkulit putih dan berbadang tinggi menyapa Dito dengan senyum manisnya. Yuni berusaha menahan rasa sakit akibat tabrakan Dito yang begitu kencang.
“Apa-apan kamu ini, kamu mau bunuh aku ya? Kamu tau yang kamu lakukan?” teriak Dito kepada Yuni. Walaupun Dito sering mengeluarkan kata kasar seperti itu, namun Yuni merasa kali ini perkataan Dito melibihi apapun. Perkataan yang menusuk langsung jantungnya. Perlahan senyum manis Yuni memudar hingga berunjung air mata.
“Aa... aaku gak bermaskud seperti itu, aku...hanya” kali ini Yuni tak bisa menahan rasa sedihnya, usahanya membahagiakan Dito yang selama ini ia rencanakan hancur seketika. Kaki yuni seketika terasa lumpuh dan terjatuh. Kue ulang tahun yang ia buat dengan sepenuh hati kini jatuh dan hancur. Yuni menunduk, dan air matanya tak berhenti mengalir.
“Sudah lah, aku sudah bosan denganmu sekarang kita akhiri saja hubungan kita” Dito berdiri dan menunjuk muka Yuni yang masih tertunduk lesu. Mendengar itu Yuni seketika berdiri dan berlari menuju Ditio.
“Aku enggak mau” sembari berlari dan membuka tanganya kedepan untuk memeluk Dito. Namun sebelum tangan Yuni menyentuh tubuh kekasihnya itu, Dito menampar dengan sekuat tenaga.
***
10 menit berlalu, ibu Dito menyuruhnya untuk mengambilkan artikelnya yang berada di kamarnya lantai atas. Walau sebenarnya itu hanya akal Yuni yang meminta tolong kepada ibu Dito agar Dito menghampirinya. Namun demikian mereka berdua tak kunjung turun, ibu Dito berpikir tak baik jika mereka berada berdua terlalu lama di atas. Kemudian ibu Dito bergegas menaiki tangga menuju lantai atas, dan begitu kejutnya ia melihat darah berserakan dimana-mana. Seketika Ibu Dito berteriak sekencang-kencangnya sembari kedua tanganya menutup kedua telinganya. Seluruh peserta pesta terkejut mendengar teriakan yang begitu kencang.
“Kenapa orang itu, aku yakin itu bukan teriakan bahagia,” cakap seorang peserta pesta. Mendengar teriakan ibu Dito, keluarga Dito segera menyusul keatas untuk memastikan suasana yang sesungguhnya. Namun alangkah tekejutnya mereka melihat ibu Dito menangis dengan memeluk sesosok mayat berlumuran darah di pangkuanya, sebagian dari keluarga Dito berteriak dengan sekencang-kencangnya.
“Hish... kenapa lagi orang itu berteriak?” saat itu juga peserta pesta itu masuk kedalam rumah dan langsung menuju sumber suara, ketika ia telah sampai di lantai atas, ia terkejut dan tanpa mengeluarkan suara ia jatuh pingsan seketika melihat darah berserakan dimana-mana.
Kini malam itu menjadi gaduh, semua peserta pesta panik dan segera berlarian masuk kedalam untuk memastikan, dan ada juga berlari menjauh dari rumah Dito. Ada peserta yang baru saja dari belakang mencuri makanan tambahan untuk pesta.
“Ada apa ini... kenapa gaduh?”
“Ada pembunuhan” jawab peserta lain panik
“Apa...!!!” seketika makanan yang berada di kedua tanganya jatuh.
“Ku rasa kita harus segera pergi sebelum si pembunuh mencari korban baru.”
***
Kesokan paginya, seluruh keluarga Dito berkumpul di kediaman Dito. Ibu Dito tak menyangka bahwa hidup anaknya akan berakhir mengenaskan seperti ini. Air mata Ibu Dito tak hentinya menetes, mengiringi pemakan anaknya di pagi yang mendung itu.
“Selamat pagi ibu, kami dari pihak forensik ingin mengundang ibu untuk kekantor sekarang juga, guna mempelancar penyelidikan pembunuhan anak ibu” sebuah tim khusus menghampiri ibu Dito yang sedang berduka di pemakaman.
“Baik, saya akan segera mendatangi undangan bapak, saya ingin pembunuh anak saya di temukan dan dihukum dengan hukuman yang setimpal” sahut ibu Dito sembari mengusap air matanya. Sesampai di kantor kepolisian, ibu Dito segera disambut oleh detektif Budi. Lalu menyuruhnya duduk di depan meja kerjanya dan menyuruh sekertaris menyediakan minuman hangat untuk ibu Dito. Lalu ia memulai pembicaraaan yang serius.
“Ibu siap menjalankan introgasi sekarang” Detektif menajamkan matanya ke arah ibu Dito.
“Saya siap, saya ingin segera pembunuh  segera di temukan” mambalas tatapan tajam detektif.
“Baik, berdasarkan olah TKP semalam, kami menemukan barang bukti di halaman ruamah ibu berupa palu guna memukul kepala korban” jelas detektif.
“Kalau begitu, si pembunuh dapat dilacak dari sidik jari yang membekas dari palu tersebut?” Ibu Dito segera berdiri dari tempat duduknya, merasakan bahagia karena pelaku pembunuhan akan segera di ketahui. Namun sang detektif menggelengkan kepalanya. Melihat itu seketika kaki Ibu Dito terasa lumpuh dan membuatnya duduk kembali.
“Tidak semudah itu menemukan si pelaku, karan ia sangat cerdik menyembunyikan alibi, tak ada bekas sidik jari pada pegangan palu itu,” detektif menjelaskan serius dengan kedua tanganya yang saling menggengam dan menyangga dagunya dari meja.
“Bagaiman kalian yakin itu adalah alat untuk membunuh anak saya, bisa saja ia menggantinya?” Ibu Dito meminta penjelasan.
“Kami mencocokan darah yang menepel pada palu tersebut kepada korban, apa ibu bisa menceritakan sesuatu, hal yang mencurigakan sebelum kejadian ini terjadi?”
Ibu Dito mulai mengingat keras apa yang sedang terjadi malam tadi, matanya mulai kelayapan kesana kemari sembari mengingat.
“Aku ingat...! Dito berdua dengan pacarnya di lantai atas, pacarnya yang meminta ku untuk mengosongkan ruang lantai atas, atau jangan-jangan dia pembunuhnya!!” ibu Dito melotot dan nada bicaranya semakin tinggi.
“Siapa nama pacar korban?”
“Yuni Mandalangi!”
Sang detektif segera berdiri, memandang anak buahnya dan berkata.
“Tangkap dia!”
***
Memang semenjak malam itu, Yuni tidak menampakan dirinya lagi. Menimbulkan curiga bagi keluarga Dito yang mengetahui dia lah satu satunya orang yang menemani Dito di lantai atas, bahkan detik-detik terakhir. Sore hari itu juga ada tamu menghampiri rumah Yuni, mengetuk pintu rumah yuni dengan berkala. Kemudian Yuni menghampiri pintu tersebut dan membukanya. Nampak kedua manusia besar berkulit sawo matang dan berkumis tebal, menggunakan jaket kulit hitam dan celana hitam.
“Selamat sore, bisa bicara dengan Yuni.” Ucap pria satunya bertubuh pendek namun kekar, sembari menunjukan identitas kepolisian.
“Iya dengan saya sendiri, ada apa ya?” Yuni bertanya dengan raut muka yang penuh penasaran.
“Kami di perintahkan menangkap anda, karena dugaan pembunuhan kepada sodara Dito.”
“Pembunuhan apa? Maksut kalian apa! Dito mati?” Yuni berteriak dan mencengkram rambutnya.
“Ini surat tugas kami.” Pria berkumis tebal menyodorkan surat perintahnya.
“Tapi aku bukan pembunuh! Aku korban!” Yuni meronta ketika pria pendek memegang tangannya.
“Simpan pernyataanmu nanti di meja pengadilan!”
***
Cahaya terang tiba-tiba menerangi seluruh ruangan sempit itu. Hanya ada meja dan dua kursi yang Yuni duduki dan satu kursi di depanya. Kemudian di sudut ruangan terbuka lah pintu dan munculah sesosok lelaki menghampiri Yuni dan duduk di depanya, di kursi yang ia hadapi.
“Perkenalkan, saya detektif Budi. Menurut keterangan petugas, anda mengeluarkan ekspresi terkejut ketika mendengar korban mati, lalu mengelak ketika dituduh sebagai pelaku, dan berkata bahwa diri anda sebagai korban, apa yang bisa anda jelaskan untuk menghilangkan alibi palsu mu?” kemudian detektif menghela nafas dan menyenderkan pundaknya pada kursi.
“Aku tak mengetahui kematian Dito, aku pergi meninggalkanya setelah ia menampar ku dengan sekuat tenaga,” Yuni menoleh kekanan, menunjukan bekas memar di pipi kirinya.
“Ia meminta mengakhiri hubungan kita, namun ketika aku ingin memeluknya, ia malah menampar ku” terus Yuni.
“Kami menemukan sehelai rambut pada kain yang tak jauh dai barang bukti, dan DNA rambut itu sesuai dengan rambut anda, kami menduga kain itu guna membungkus palu untuk menghindari sidik jari pada palu” sahut detektif.
“Tapi aku tidak membunuhnya!” Yuni mendobrak meja di depanya, tak terima dengan pernyataan detektif. Kemudian detektif berdiri mengambil ketiga barang bukti itu dan menaruhnya di hadapan Yuni.
“Kain itu...?” Yuni tercengang melihat salah satu bukti di depanya.
“Itu kain rajutan ku untuk kado ulang tahunya,” bicara perlahan, lalu berubah menjadi nada yang begitu tinggi.
“Tapi aku bukan pembunuh! Bisa saja rambut itu terjatuh pada saat aku merajutnya!” Yuni mencoba menjelaskan kembali.
“Maaf, bukti kami saat ini sangat lah kuat. Kami akan menahanmu sampai meja hijau memberikan keputusan kepada mu.” Detektif beranjak pergi meninggalkan Yuni.
“Apa maksud kamu? Aku tidak bersalah!!!”
***
Akhirnya hari persidangan itu tiba, Yuni berada di sebuah kursi dan bertunduk lesu, menyesali perbutanya, sedangkan teman dan sodara Dito menyaksikan persidangan itu. Persidangan dimulai dari pernyataan hakim tentang pembunuhan terhadap Dito, dari awal alur hingga bukti pembunuhan yang di tuju kepada Yuni. Yuni tetap terdiam dan tertunduk. Kemudian hakim menanyakan pembelaan terhadak terdakwa.
“Aku menyesal” suara pelan itu muncul dari mulut Yuni. Seketika teman dan sodara Dito tercengan dengan pernyataan itu. Dan memandang Yuni dengan serius.
“Aku menyesal telah menjadi pacar Dito, aku menyesal telah merencanakan kejutan untuknya, namun aku merasa aku lah yang di zalimi pada malam itu, aku lah yang di aniyaya olehnya, namun aku tak membalasnya bahkan membunuhnya, malam itu aku segera meninggalkan rumah Dito tanpa berpamitan dengan siapa pun. Tapi apa daya ku ketika semua bukti menuju kepada ku.” Yuni memperdalam tundukanya.
“Terdakwa telah mengakui perbuatanya, dan kini terdakwa akan di hukum dengan kurungan selama...”
“Sebentar!!!” suara itu terlontar dari peria sudut ruangan yang memotong perkataan hakim.
“Lancang sekali kau!” saut hakim lainya.
“Mohon maaf pak hakim, saya ingin memberi pernyataan. Saya yakin seyakinya bahwa Yuni bukan lah seorang pembunuh.” Suasana ruangan itu semakin memanas akibat rasa penasaran peonton membesar.
“Melihat kejadian yang telah hakim jelaskan, saya rasa tidak mungkin ketika Yuni lah yang membunuh Dito, dari mana ia bisa membuh Dito dengan sebuah palu. Sedangkan palu adalah palu yang sering dipakai pembantu rumah dito, yang pastinya berada di gudang, dan bukan di lantai atas. Melihat letak korban tergeletak yaitu tepat di depan kamar korban, saya berani dengan tegas bahwa ia terbunuh ketika selang beberapa menit setelah Dito dan Yuni bertengkar. Artinya Yuni tak memilik waktu untuk berlari turun menuju gudang dan mencari palu untuk memukul kepala korban.” Jelas detail peria itu.
“Bagai mana kau yakin dengan waktu yang kau sampaikan? Bisa saja waktu itu telah panjang dan Dito akan segera turun” detektif Budi meminta penjelas.
“Melihat sekliling korban tak ada artikel,” semua orang tertuju serius kepada pria misterius itu. “Jika tujuan korban mengambil artikel yang berada didalmnya, sesuai dari penjelasan hakim, maka saya bisa menyatkan bahwa saat itu Dito sedang menuju kamar dan belum memasuki kamar tersebut, kemudian posisi kepala korban yang mengarah ke pintu, bukan ketangga, menunjukan korban sedang berjalan menuju kamar.” Semua orang di ruangan itu terdecak kagum mendengar penjelasan pria misterius itu.
Yuni tersenyum manis dibalik tundukanya yang lesu, menanti akhir dari persidangannya.

Penulis: Faqih Fadul

Related Posts

Post a Comment