Griyatulisan.com,-“Nakal boleh, bodoh
jangan” merupakan wejangan dari bapak pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Kata-kata
ini menunjukan bahwa masyarakat Indonesia khususnya para pelajar haram hukumnya
untuk tidak belajar sehingga menjadikan mereka bodoh. Dalam tulisan ini penulis
akan memberikan segmentasi khusus terhadap mahasiswa yang tidak lain merupakan
agen pembaharu.
Penafsiran terhadap
dawuh tersebut berarti mendefinisikan bahwa nakal itu lebih baik daripada
bodoh. Meskipun demikian, kata nakal dalam hal ini juga menjurus kepada suatu
perbuatn yang masih dalam tataran koridor yang lumrah maksudnya jangan
mengartikan bahwa nakal berarti senakal-nakalnya seperti membuat onar, sok
hebat, membakar ban, dan teriak-teriak.
Seperti yang
diketahui bahwasanya kekuatan terbesar dalam suatu instansi perguruan tinggi terletak
pada diri mahasiswanya, bukan pada Rektor, Ketua Jurusan, Ketua Prodi, maupun
dosen. Mahasiswalah yang menjadi refleksi dari akuntabilitas dan kredibilitas
suatu perguruan tinggi.
Jadi, untuk
menunjukan suatu refleksi yang baik dan turut mengaplikasikan wejangan Ki
Hadjar maka mahasiswa itu tidak boleh bodoh. Loh kan kapasitas otak dan daya
tangkap setiap mahasiswa berbeda ? pertanyaan pragmatis yang sebenarnya adalah
bentuk dari dalih untuk tidak meningkatkan kinerja otak.
Perlu diketahui
bahwa tidak ada manusia yang terlahir bodoh melainkan mereka hanya malas dan
nyaman dengan kebodohanya. Seekor kambing yang menjilat kemaluan kambing lain
setelah ia kencing lalu meringis adalah tamsil Orang bodoh yang tidak tahu
bahwa dirinya bodoh. Apalagi mahasiswa yang notabenenya berada dalam kasta
tertinggi penyerap pendidikan.
Eksistensi, pola
pikir, mind set, dan responsibilitas
mahasiswa jauh diatas mereka yang masih duduk dibangku sekolah menengah.
Pengembangan potensi diri dengan cara mencari literasi sebanyak mungkin
merupakan hal-hal yang wajib dilakukan oleh mahasiswa.
Mahasiswa yang
berada dalam posisi nyaman akan sangat membahayakan, selain jelas melakukan
dosa intelektual mereka juga tidak akan berkembang. Apalagi untuk menyentuh
kata maju saja mereka akan sangat merasa berat. Akan tetapi, mahasiswa yang
progresif adalah keniscayaan.
Mereka akan menjadi
mahasiswa yang kredibel apabila mereka berani melawan rasa malas dan senantiasa
Iqro’ atau membaca. Maksudnya banyak
membaca buku, membaca situsasi, membaca permasalahan, dan membaca segala
sesuatu yang ada di lingkungan sekitar mereka.
Selain membaca
seharusnya mahasiswa harus secara masif mengembangkan kemampuan beretorika. Hal
tersebut bisa diawali dengan tidak membaca saat presentasi. Selain itu, aktif mengikuti forum diskusi diluar kelas
akan menambah kemampuan dialektika para mahasiswa. Daya nalar dan pemahaman
terhadp suatu masalah akan membuat mereka lebih peka terhadap isu-isu yang
terjadi.
Setelah membaca dan
diskusi maka kebutuhan mahasiswa adalah menulis. Menulis menjadi suatu hal yang
sangat penting karena dengan menulis mahasiswa akan mampu menyalurkan buah
pemikiran, aspirasi, serta kritik yang bersifat membangun terhadap topik yang
diangkat. Menulis akan membuat mereka senantiasa memaksimalkan kinerja otaknya
sehingga dengan kata lain mereka telah turut berjihad memerangi kebodohan,
setidaknya untuk mereka sendiri.
Bukankah lima tahun
kedepan hidup kalian ditentukan dari tiga hal utama yaitu, buku apa yang telah
dibaca, kepada siapa bergaul, dan apa yang telah dilakukan. Jadi dengan
membaca, diskusi, dan menulis mahasiswa akan terhindar dari kebodohan dan
mendiang Ki Hadjar akan sangat berbangga hati melihat keseriusan mahasiswa
dalam belajar.
Apa mahasiswa
dengan pemikiran akademisnya masih menharapkan Bejo ? apabila benar demikian maka folosofi jawa tentang Bejo yang benar adalah, Sak Bejo-Bejane Wong Bodo, Luwih Bejo Wong
Eling lan Waspodo. Nakal boleh, bodoh jangan.
Penulis : Julianto Nugroho
Post a Comment
Post a Comment