Memoar Luka

Post a Comment



Andai mereka tahu betapa susah usahanya,
Menekan perasaan dan berjibaku dengan waktu
Meniti perjalan sunyi seorang diri
Hiruk-pikuk kota menyelimuti tirani yang nadir

Dia, yang sedari dulu memang sendiri
Menelan bulat kue diskriminasi hampir setiap hari..
Bakat yang ia miliki seolah beku ketika dirumah itu
tiada berarti kemampuan dan potensi diri.
Yang ada hanya hardik serta caci maki

Dia yang sebenarnya mampu melompat tinggi
Tak kuasa berbuat apa,
Saat pasak tajam menancap di kakinya bersenggama dengan bumi. Diam, merana dalam hati

Dia yang menderita
Tak pernah dihargai setiap usahanya dalam mencari ilmu,
Lelahnya seolah hanya lelah karena berulah liar diluar sana. Dia baik, hebat, dan berbakat
Tapi,

Dia sendiri. Dan benar-benar sendiri..
Falsafah yang kerap buatnya kuat, terkadang luntur. Rasa sabar-pun terkadang muntab,
Hanya meledak-ledak dalam relung hati yang kosong

Dia yang sengsara,
Nasibnya keranta-ranta nelangsa
Kapasitas ilmunya tinggi
Terbukti dari setiap coret tulisanya..
Sungguh, harus ia letakan itu
Karena tiada seorang yang peduli

Dia yang kurus kering
Berkalang tanah untuk tetap bertahan hidup
Penghargaanya, pencapaiannya,
Hanya kata yang tak memiliki arti sama sekali
Di rumah itu,

Dia yang dipaksa untuk pandir
Dia yang dipaksa tunduk dibawah singgasana feodalisme, di masa ini. Sungguh, menghina diri serendah-rendahnya sehina-hinanya

Dia yang menjadi hamba sahaya di rumah itu,
Sempat tenang hidupnya
Hanya sebentar saja..
Saat bapak-ibu dia menetap barang beberapa hari.

Lepas itu, cambukan tangan tua
Hingga cibiran gincu merah tajam, telah menjadi teman jahatnya setiap hari.

Dia, dia adalah dia
Dia adalah temanku
Dia adalah seperjuangan denganku
Dia adalah karibku
Dia adalah si tulang berjalan

Dan aku, aku hanya si anak rantau.
Lebih tidak.


Penulis: Julianto Nugroho

Related Posts

Post a Comment