Kala itu mentari mulai terbit dan
memancarkan cahayanya, hembusan udara segarpun turut adil dalam menyejukan
suasana di pagi itu. Seperti biasa Tono mengantarkan makanan untuk sarpan
ayahnya yang sedari tadi telah beranjak kesawah. Tak lupa ia membuka rantang
dan menatanya, setalah itu ia lalu menuangkan segelas air kedalam cangkir yang
ia bawa. Seluruh makanan telah siap disantap dan telah ia tata rapih di atas
gubuk tepat di tengah sawah milik keluarganya. Kemudian Tono segera memanggil
sembari melambaikan tangan ke arah ayahnya untuk menyantap hidangan yang telah
ia bawa.
Mendengar suara anaknya, ayah Tono
segera menghapirinya. Dengan perut kosong, ia sedikit tergesa-gesa berjalan
menuju gubuk sembari mengangkat pacul di pundak kanannya. Melihat ayahnya yang
begitu tergesa-gesa, Tono menyadari rasa lapar yang dirasakan oleh ayahhnya,
namun melihat lumpur nampak tebal di muka dan di kakinya membuat Tono seketika
berteriak dan menghentikan langkah ayahnya itu untuk segera menyuruhnya menuju
irigasi untuk menghilangkan lumpur tersebut.
Ayah Tono begitu terburu-buru
membersihkan lumpur pada tubuhnya karena tak tahan lagi menahan rasa lapar,
kemudian ia menuju kegubuk tepat Tono menyediakan makanan.
“Ibu mu masak opo le?”
“Sayur kesenengane pak’e to,
jangan gori karo sambel teri”
“Weleh... yo manteb iki, koe wes
madang gung le?”
“Sampun pak niki mau tembe mawon
kaleh Restu”
“Owalah... la bar sarapan adekmu
wes mangkat Ton?”
“Sampun pak, enjeh empun kulo tak
wangsul rien... ajeng siap-siap gek budal kuliah”
“Iyo le... sekolah seng
bener yo le bendadi wong sukses”
“Kuliah pak... guduk sekolah”
“Halah... podo-podo golek ilmu to?”
Tono tak banyak membantah, ia hanya tersenyum kepada ayahnya lalu menarik
tangan ayahnya yang begitu asik merauk nasi dan sayur.
“Eh... kotor le”
“Wes boten nopo-nopo pak”
Tono mencium tangan ayahnya lalu beranjak pergi pulang kerumah untuk segera
bersiap-siap lalu pergi menuju kampus.
***
Tono mulai kehilangan konsentrasi
untuk berpikir jernih, ia mulai bingung apa saja yang harus ia bawa untuk
perlengkapan kuliah hari ini, mengingat 20 menit lagi jam kuliah pagi akan
segera dimulai. Tono yang tak sempat menyemir sepatunya, rambut yang belum
terjamah dengan minyak panco kesayanganya, berangkat begitu saja mengingat ia
harus segera hadir tepat waktu.
Dengan suasana gaduh ia memacu joki,
simotor vespa kesayanganya dengan begitu cepatnya. Namun ia mulai mengurangi
kecepatan ketika melihat kemacetan di perempatan depan. Kegelisahanya begitu
memuncak melihat kemacetan yang begitu panjang. Ia menengok kanan kiri mencari
sela untuk joki segera bermanuver. Namun naas nasib tono ketika mobil pribadi
berwana hitam menabrak bokong si joki. Tono terjatuh dengan dagu terlebih
dahulu mencium aspal.
Tono mulai bangkit dari jatuhnya,
berusaha meyakinkan diri bahawa ini bukan kejadian yang fatal. Tono melihat
orang-orang yang mualai mengrumuninya, sembari menanyakan keadaanya. Banyak
orang berteriak tak jelas, mendadak menjadi hakim dan menyalahkan sepihak.
Lalulintas di lokasi itu semakin semerawut akibat tabrakan itu. Tono masih
terdiam, berusaha mengumpulkan kewarasanya untuk meyakinkan lagi bahwa dirinya
tak apa.
Sialnya darah mulai menetes dari
dagu Tono, tangan kananya mencoba menyentuh dagunya lalu ia perhatikan begitu
banyak darah yang mengalir di tanganya. Dari kejauhan datang pria kekar
berwajah sangar;
“Gimana dek, kamu gak papa?”
“Enggak papa om”
“Ya udah kita minggir dulu yuk” pria
itu merangkul bahu Tono lalu mengajaknya mencari tempat duduk terdekat. Pria
itu menyodorkan kotak medis untuk mengobati luka yang berada pada dagu Tono.
“Bisa ngobatin sendirikan?”
“Bisa om, maaf om ini siapa?”
“Saya yang punya mobil hitam itu”
sembari menunjuk mobil yang menabrak si joki
“Jadi gini dek, namanya musibah
itukan gak ada yang mau... tapi kita
sebagai manusia harus menjalaninya dengan sebaik mungkin, kita harus
bertanggung jawab dan mampu menyelesaikan masalah... jadi gini aja dek, saya
bawa kamu berobat, tapi kamu benerin bemper mobil saya yang penyok”
Mendengar perkataan pria itu, Tono
terkejud... betapa mahalnya memperbaiki bemper mobil itu, dan harga itu tak
sebanding dengan obat yang akan dia terima. Tono berusaha menjelaskan pada pria
itu bahwa ia tidak apa-apa dan tidak perlu untuk berobat dengan harapan, tidak
ada berobat, tidak ada perjanjian memperbaiki bemper.
Pria itu begitu senang melihat Tono
tak mengalami luka serius, namun pria itu tetap meminta ganti rugi atas
kerusakan bemper akibat menabrak si joki. Sialnya Tono hari ini, tidak
mendapatkan uang untuk berobat, malah mendapat denda begitu besar.
***
Satu bulan berlalu, Tono begitu
menyesal menyerah dengan kejadian waktu itu, ketika ia di tabrak oleh pria
kekar pengendara mobil pribadi berwana hitam. Ia menyesal tidak berani
menggeretak pria itu, bahwa ia lah korban sesungguhnya. Jelas-jelas Tono di
tabrak pada posisi berhenti di tengah kemacetan, tetapi kenapa Tono yang harus
mengalami kerugian. Ia merasa bahwa dirinya pecundang, tak bisa menghadapi
orang bertampang sangar.
Hati Tono berkata lain mengenai
permasalahan ini, ia merasa bahwa ketika masalah yang telah dilalui tak perlu
lagi diingat dan terima saja dengan lapang dada. Ia pun mulai mengikhlaskan
musibah itu dan menjalani hari-harinya seperti biasanya. Menjadi pribadi lugu,
sopan dan santun.
Hari ini Tono dan temanya Agus
berencana pergi kesuatu warnet tepat pada pintu keluar gerbang kampus. Ia
berharap bisa melihat trailer film kesayanganya di youtube... namun
lagi-lagi sial menimpa Tono, ketika satu-satunya bilink warnet tersisa... ia
diserobot oleh pria pendek berkulit putih.
“Maaf mas, saya kan dateng duluan”
Tono berusaha menegur dengan nada yang lembut
“Memangnya kenapa, kalo bilink ini
saya pakai... kamu gak terima!” pria itu berdiri dan meludahi muka Tono.
Lagi-lagi Tono terdiam, lalu ia membersihkan air liur pria itu dari wajahnya,
kemudian ia membalikan badan dan pergi dari bilink itu. Tono menunggu Agus di
luar warnet sembari duduk diam melihat motor berkeliaran di jalan.
“Pie Ton, ndelok opo koe mau?”
sembari menepuk pundak Tono
“Diancuk... ndelok opo, ra delok
opo-opo aku... la wong kebek”
“La mau enek seng kosong sitok to?
Agus mulai bingung dengan keadaan sebenarnya
“Diserobot karo cah kerdil mau...
jan joh tenan mentolo ngiles-ngiles cah cilik kui!” Tono menjelaskan dengan
tangan menggenggam begitu kuatnya.
“Sabar Ton... wes benke” Agus
mengelus pundak Tono
“Benke pie suuu... mergo dek e
aku ra sido delok kapten amerika! Benke.... arep tak iles-iles lek dek e metu”
Tono mulai berdiri dan memandangi pintu keluar warnet. Selang beberapa detik
pria itu keluar dan memandangi Tono.
“Apa liat-liat! Gak suka? Hah!!!”
pria itu berteria dan melotot memandangi Tono
“Enggak kenapa-kenapa mas.... mau
masuk kalo mas udah” seketika Tono bersikap lembut pada pria itu. Namun hatinya
tetap berkata “Sial aku tak berani denganya.”
***
Tono mulai merasakan kegelisahan
pada dirinya yang tak pernah mendapatkan kenyamanan di setiap harinya. Ia mulai
berpikir kenapa dia seperti ini, dan ia harus mencari penyebab dari rasa
ketidak beranianya ini.
Tepat hari minggu di minggu pertama,
seperti biasa masyarakat kota berkumpul di sebuah alun-alun, ada yang berlari
mengelilingi taman, di sudut taman ada rombongan ibu-ibu cantik sedang asik
berlenggok-lenggok berharap gerakan itu disebut gerakan senam. Di sudut lain
Tono hanya duduk diam dengan menggunakan kaos oblong celana training dan
blangkon kesayangan hadiah dari Maman saudaranya di Jogja.
Tono mulai memperhatikan orang-orang
yang berlalulalang di sekitarnya. Namun ada satu orang yang menarik
perhatianya, yaitu sosok lelaki lugu yang selalu terkena sial sepertinya. Lelaki
itu duduk pada sebuah kursi panjang yang terletak di taman, ketika ia mulai
duduk dan membuka buku tebalnya, ia terkaget ketika ada seoarang wanita yang
memintanya dengan keras untuk membagi kursi itu yang panjangnya sekitar1 ½ m. Lelaki
geser ke ujung kursi panjang itu hingga hampir jatuh akibat desakan rekan wanita
tersebut yang hampir memenuhi kursi itu.
Lelaki itu tetap diam tidak
melakukan protes sedikitpun kepada wanita-wanita itu, ia berusaha tetap
seimbang pada tempat duduk yang sedikit lagi saja ia terjatuh. Lima menit
kemudian nampak seorang pria tampan menghampirinya, pria ini terlihat begitu
akrab dengan wanita-wanita disamping lelaki ini. Kemudaian pria itu berkata;
“Mas bro, boleh saya duduk di
sini... ini teman-teman saya!”
“Oh iya mas... monggo” lelaki
itu mempersilahkan pria itu lalu pergi dari kursi panjang itu.
Tono tetap memperhatikan lelaki itu
hingga lelaki tersebut melihat kursi kosong di sebelah Tono. Lelaki itu
menghampiri Tono.
“Mas... kulo angsal lenggah teng
meriki?”
“Angsal mas” Tono
menyambutnya dengan sumringah.
“Dancuk tenan cah kae ki,
ngerebut gon lingguhku... padahal kui gon lingguh paporitku” Gerutu lelaki
itu
“La sampean ra protes mas karo
cah-cah kae?” tanya Tono
“Yo ra penak to mas-mas”
jelas lelaki itu
“Owalah... yo emang mas wong jowo
koyo adewe iki wani ne ngomong neng buri,
hehehe....”
“Weleh... bener niku mas,
hahaha....”
“Oyo... jenenge sampean sinten?”
“Paijo mas....”
***
Sejak kejadian di taman, Tono mulai
mikirkan takdirnya kenapa ia bisa selemah ini. Ia merasa bahwa ia merugi
dilahirkan pada keturunan jawa. Orang jawa selalu nerimo apapun yang ia
alami walaupun menyakitinya, jika mereka kesal maka hanya mengrutu dibelakang.
Hari ini Tono mulai bertekad bahwa
ia tidak ingin menjadi orang jawa yang lugu, ia ingin berubah menjadi sosok
yang garang dan selalu membela haknya dan tak mau mengalah.
Akhir pekanpun datang, seperti biasa
Tono membantu orang tuanya di sawah. Namun tak seperti biasanyaTono berbicara
dengan bahasa halus kepada ayahnya.
“Pak... aku kesel ngeneki terus,
aku arep dolan!” gugat Tono
“Lo... Ton, omonganmu wi lo, karo
bapakmu kok ngono kui?
“La yo ngopo... penteng
isik nganggo bohoso jowo to!”
“Njeh pun... jeneng ajeng dolan
geh monggo, sekecak aken nggeh” ayah Tono mempersilahkan Tono untuk segera
pergi. Tono pun tanpa pikir panjang segera pergi meninggalkan ayahnya yang
sedang mengurus sawah.
***
Satu bulan berlalu, Tono tetap
bersikukuh dengan pendirianya tak mau menjadi orang jawa. Kini ia tak pernah
kembali kerumah akibat selalu bertengkar dengan ibunya di rumah, dan dengan
sikapnya ini, Tono malah memiliki banyak teman walaupun demikian, sahabat
karibnya telah pergi meninggalkanya akibat sikapnya yang telah berubah.
Tono menjadi orang yang paling
ditakuti di kampusnya, tak ada lagi satu orangpun yang berani mengganggunya,
menyenggolnya saja bisa kena amuk dari amarahnya, namun dia tetap baik kepada
teman-temanya sehingga orang-orang berbondong bersikap baik padanya walaupun
bukan dengan perasaan yang tulus, hanya untuk menghindari amukan amarahnya
saja.
***
Akhir semesterpun datang, para
mahasiswa mulai sibuk dengan nilai rendah yang mereka dapatkan termasuk Tono. Namun
Tono tetap tenang dan bersantai. Di sore hari Tono berniat menemui dosen untuk
mengkonfirmasi nilai yang ia dapat. Tono menunggu di sebuah lorong panjang di
salah satu gedung dosen. Tak lama kemudian muncul sosok lelaki tua berjalan
dengan tergesa-gesa. Melihat itu Tono segera berdiri dari tempat duduknya dan
menghadang lelaki itu.
“Maaf pak, saya mau nanya tentang
nilai saya”
“Kamu siapa?” Lelaki itu bertanya
sembari menurunkan kacamatanya
“Saya mahasiswa bapaklah... gimana
to, oya pak gimana nilai saya kok bisa dapet D?”
“Oh kamu... mahasiswa lugu yang sok
gaul?”
“Sok gaul gimana pak... saya cuman
menjadi sosok orang yang membela haknya saja!”
“Memebela hak katamu, dengan cara
tidak mempunyai sopan santun, kau bicarakan hak... hak apa yang kamu maksud,
hak menjadi durhaka?”
“Maksud bapak?” Tono mulai
menciutkan alisnya, ia mulai bingung dengan pernyataan lelaki itu.
“Jujur... saya kecewa dengan kamu,
dulu kau terkenal sebagai orang yang memiliki tutur kata yang lembut dan
bersikap ramah, namun sayang kini kau menjadi anak brandal idamanmu, sempat saya mengajukan saran disaat
rapat untuk memberikan sebuah apresiasi berupa beasiswa berkat nilaimu yang
terus menanjak, tetapi sikapmu yang berubah di setengah semester membuat semua
rasa banggaku padamu hilang seketika, kau tak layak mendapatkan beasiswa atau
sebuah penghargaan sekalipun, bukan kah pada awal kamu masuk di kelas saya, kau
memperkenalkan dirimu beserta impianmu... menjadi orang yang berguna, dan
mendapatkan beasiswa untuk membahagiakan orang tuamu?”
Mendengar perkataan itu, Tono seketika jatuh di
hadapanya. Semua impianya dimasa lampau ternyata telah lenyap, ia mulai
memikirkan ibunya di rumah, yang selama ini ia bentak akibat ego yang ia buat
sendiri, hanya untuk tak mau menjadi orang jawa. Ia mulai sadar dengan sikapnya
yang ternyata salah, ia melakukan langkah yang salah.
Tono mulai menjatuhkan air matanya
mengingat dosanya pada ibunya, ia semakin tak berdaya dan mengis
sekencang-kencangnya. Namun lelaki itu pergi meninggalkanya begitu saja, tak
ada kata sedikitpun yang terlontar dari lelaki itu.
Sehabis solat magrib, Tono bertekat
untuk pulang, meminta maaf kepada orang tuanya terkhusus pada ibunya yang selma
ini ia bentak.
Sesampainya di rumah, Tono mulai
melepaskan helm dan menaruhnya di atas motor vespa kesayanganya. Tono berdiri
terdiam, sembari tersedu-sedu melihat rumah yang selama ini ia tinggalkan. Perlahan
ia melangkahkan kakinya menuju pintu masuk, ia lalu mengetuk pintu dengan
perlahan.
“Assalamualaikum... yah... bu...
Tono Wangsul” tak lama kemudian namapak suara dari dalam, berbunyi seseorang
sedang membukakan kunci pintu tersebud. Lalu Tono melihat raut kejut wajah
ayahnya.
“Ngopo koe renen meneh!?”
ayah Tono seketika berteriak melihat Tono berada di hadapanya
“Nyuwon ngapunten pak... kulo
sampun kurang ajar kaleh jenengan” Tono tak kuasa menahan airmatanya dan
sujud memluk kaki ayahnya.
“Ra usah jalok amet... koe ra
gelem dadi wong jowo to... dadio sak karepmu, aku wes ra nganggep koe dadi
anakku meneh!!!”
“Ngapunten pak... kulo nyuwun
ngapunten pak” Tono tak bisa menahan tangisnya
“Koe ngerti akibat tingkahmu...
ibumu mati ngenes, jantungen... dek e ra percoyo anak lanang kesayangane
durhaka koyo ngene iki!”
“Opo, pak ibu....” Tono seketika
berhenti menangis dan menganga memandang wajah ayahnya, hati Tono semakin
hancur mendengar ibunya telah tiada.
“Sak iki minggato kon... ra sudi
aku due anak koyo ngono.... MINGGAT KONO!!!”
“Ampun pak.... kulo nyuwong
ngapuro” Tono semakin menggeru-geru dalam tangisanya
“ORA SUDI.... MINGGAT KONO!!!”
Penulis: Faqih Fadul
Post a Comment
Post a Comment