L.O.V.E

Post a Comment

S
enja mulai menyapa menghantarkan sang surya ke peristirahatannya. Kala itu aku hanya termenung melihat indahnya semburat jingga yang perlahan memudar digantikan oleh goresan cahaya rembulan yang mulai tampak. Pohon-pohon yang membelai rambutku dengan lembut, desiran air pantai yang dinginnya menusuk jari jemariku dan angin yang menerobos memasuki tiap-tiap relung hatiku. Lagi-lagi malam ini, aku mulai terpesona dengan indahnya dewi malam yang menampakkan wujudnya. Seperti biasa aku ingin melihat indahnya bulan di pantai ini. Aku menunggu sunset usai dan digantikan dengan  kilauan pancaran sinar rembulan. Dewi malam yang nampak indah dibalut dengan gemerlapan cahaya bintang. Kini dewi malam melambaikan tangannya kearahku seakan dia tahu apa yang sedang aku pikirkan saat ini, seraya ia menghiburku dari lamunan kosongku dan berbicara bahwa tidak hanya aku yang bernasib buruk di dunia ini. Bahwa masih banyak orang di luar sana yang bernasib buruk lebih dariku.

Aku tak ingin berpisah dengan pantai ini, pantai ini adalah awal kisah cintaku dengan seseorang. Kenangan sedih, senang, duka semua ada di pantai ini. Pantai ini menjadi saksi bisu antara cintaku dan seseorang, pengorbanan cintaku kepada seseorang, dan kesetiaanku terhadap orang tersebut. Aku masih menginggat jelas 2 tahun yang lalu. Butiran- butiran air mataku perlahan menetes dan membasahi pipiku. Perlahan sakit itu muncul, goresan-goresan luka hatiku yang sengaja aku tutup hidup-hidup kini terbuka. Luka itu muncul kembali, luka yang sengaja aku pendam hidup-hidup. Kepingan-kepingan itu mulai menyatu membentuk sebuah kejadian luka dimasa laluku dan kini hatiku mulai runtuh. Pertahananku sungguh roboh. Melihat pantai ini dan melihat semua kenangan aku dan dia yang terggambar jelas di pelupuk ingatanku.

Berawal dari pantai ini semua kenangan itu muncul, kenangan antara aku dan dia. Kenangan yang aku sendiri tidak dapat menguburnya. Kenangan itu sengaja aku biarkan menjadi debu yang termakan oleh zaman. Tetapi semakin aku mengubur kenangan itu hidup-hidup semakin aku juga yang terikat. Jika memang ada alat untuk menghilangkan ingatan, aku ingin menghilangkan ingatanku tentang pantai. Karena tiap kejadian ku berawal dari pantai. Pantai yang membuatku tidak bisa melupakannya.

Aku mulai menerawang menginggat kejadian demi kejadian. Waktu itu aku masih duduk kelas 2 SMA dan pertama kalinya aku mengenal cintaku . Cinta yang membuat hatiku menjadi berbunga-bunga dan cinta juga yang membuat hatiku teramat hancur. Bak potongan-potongan yang hancur berkeping-keping. Awal pertemuanku dengan lelaki itu ketika aku berpapasan dengannya di pantai. Aku yang sedang membawa peralatanku dan tas gendongku terhuyung karena dorongan dari laki-laki tersebut. Tanpa minta maaf dan merasa bersalah sedikit pun serta membantuku membereskan semua yang berserakan terkena hamparan pasir pantai. Dalam hatiku mengumpat lelaki macam apa dia yang membiarkan wanita jatuh tanpa membantunnya sedikitpun. Dengan rasa kesal aku menghampirinnya, membiarkan semua peralatanku berserakan. Lalu aku memakinnya, tetapi tak ada satu patah kata pun yang dia ucapakan dari mulutnya. Aku masih dengan amarah yang memuncak dengan rasa kesal aku terus memakinnya lagi dan dia hanya berbicara satu kata yaitu “Maaf” .

Aku mulai muak dengan tingkah lakunya, hatiku masih belum menerima dan memaki atas perbuatannya terhadapku. Selesai mengucapkan sepatah kata maaf  lalu dia berlalu pergi meninggalkanku. Aku masih dengan amarah yang mengebu-gebu. Ingin rasanya aku kepalkan lenganku dan mendarat tepat ke arahnya. Akan tetapi hatiku mendesir, wajah sepertinya tidak pantas untuk di buat lebam dengan tanganku.

Hari-hari aku lalui di pantai ini. Aku menghabiskan waktuku di pantai ini. Pantai yang membuatku teringat akan masa kecilku dan semua kenangan tentang diriku yang ada di pantai ini. Aku mulai merasakan kenyamanan lewat pantai ini. Banyak waktuku yang tertuang di pantai ini. Takdirku dan dia tidak hanya berujung pada itu saja. Tuhan mempunyai rencana lain akan takdirku dengannya. Kami kembali dipertemukan oleh tuhan akan tetapi lewat jalan dan cara yang berbeda. Mungkin ini adalah salah satu cara tuhan mempertemukan kami. Waktu itu aku sedang berjalan ke tepi pantai dan aku merasakan seseorang menyentuh pundakku. Aku dengan perasaan kaget langsung menoleh kearahnya namun dia sedang membawa minuman dan hasilnya dia sengaja atau tidak menumpahkan minumannya di bajuku.

Sungguh saat itu aku teramat kesal, aku marah bahkan teramat marah kepadanya. Aku berkata kepadanya bahwa ini kesialanku yang kedua kali karenanya. Dia masih dengan tampang lugunya yang tak ada penyesalan sedikitpun bahkan dia tak membersihkan bajuku sekalipun. Aku sangat marah, bahkan bibirku terus meracau hal-hal yang seharusnya tidak aku ucapkan. Aku tahu dia tidak sengaja menumpahkannya ke bajuku. Tetapi aku dengan suasana hati yang tidak baik terus meracau sesuka hatiku. Aku melihat raut muka penyesalan di dalam wajahnya. Dia amat menyesalinnya, bahkan aku melihat dari sorotan matannya. Sorotan dengan mata yang teduh dan ingin memohon maaf, namun aku yang amat kesal berlalu dan pergi tanpa menggubrisnya sedikitpun.

Aku tersadar hal yang aku lakukan menyakitinya. Justu membuatnya merasa bersalah dan semakin sedih. Aku sungguh menjadi wanita jahat saat ini, wanita kasar dan juga wanita pemarah. Ini bukanlah watakku, aku juga menyadari bahwa sosok dia sangat menawan. Sepersekian detik aku di buat terpesona olehnya. Bagaimana aku tidak terpesona, dia lelaki tampan dengan berkulit putih dan tinggi 170 cm dengan muka yang manis. Bagaimana bisa aku tidak terpesona dibuatnya. Tapi apakah aku menyukainya, aku belum pernah jatuh cinta. Aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Apakah ini benar-benar cinta?

Aku bak pungguk merindukan bulan. Aku mulai menyukainya, perlahan dia masuk ke dalam kehidupanku. Mengisi kekosongan yang ada di dalam hatiku. Hatiku membisu tak mampu berkata apapun. Aku hanya bisa mencintainya dalam diam. Aku hanya bisa mengaggumi sosoknya. Sosok pria yang selama ini hadir di setiap langkahku.

Aku hanya bisa mengutarakan hatiku lewat diariku dan tentunya lewat pantai ini aku hanya bisa bercerita tentang semua keluh kesahku dan diari ini menjadi saksi bahwa aku benar-benar mencintainya. Aku tak mengerti apakah ini cara tuhan untuk menyatukan umatnya lewat pertemuan ini. Tapi sungguh aku benar-benar menyukainya. Aku hanya bisa mengagguminya dalam diam, aku malu untuk mengungkapkannya, teramat malu.

Suatu ketika aku menghabiskan waktuku di pantai dan menulis diariku. Sore ini aku ingin melihat sunset di pantai ini. Setelah sunset usai aku beranjak pergi untuk pulang. Nampaknya aku meninggalkan sesuatu di pantai namun aku lupa apa yang tertinggal. Aku mengenakan sepedah miniku pergi berlalu meninggalkan pantai. Aku mengendarainya dengan perasaan gusar. Pada saat itu entah apa yang sedang aku pikirkan. Aku hanya melamun dan menaiki sepeda dengan kecepatan tinggi sambil mengenakan headset, akan tetapi aku tidak melihat jika ada mobil truk yang berjalan ke arahku. Aku tidak melihatnya, dan tabrakan itu tidak bisa dihindarkan. Tubuhku terpental jauh, dan aku merasakan sesuatu yang terjadi di bagian kepalaku karena benturan keras di bagian otakku. Aku merasa bermimpi saat itu, aku bertemu dengan kedua orangtuaku di dalam mimpi tersebut. Orangtuaku menemuiku di dalam mimpi. Namun berlalu begitu saja meninggalkanku sendiri. Aku seperti dalam mimpi yang panjang, dan tidur yang panjang. Aku mengalami koma karena kecelakaan itu, aku hanya merasakan tidur dalam waktu yang cukup lama.

Dokter bilang aku harus di operasi besar, kecelakaan fatal itu yang membuatku harus di operasi. Aku mengalami pembekuan darah di dalam otakku. Salah satu cara untuk menyelamatkanku dengan jalan operasi. Dokter menelpon waliku dan memberitahu bahwa aku mengalami kecelakaan dan harus di operasi. Dokter menyarankan aku harus segera di operasi karena ini menyangkut nyawaku. Saudaraku yang bekerja di luar negeri berkata aku harus segera di operasi dan sadaraku yang menanggung biaya operasiku. Aku hanyalah anak yatim piatu. 5 tahun lalu orangtuaku pergi menghadap sang pencipta. Saudaraku yang bekerja di luar negeri yang selama ini yang membantuku dalam segi apapun.  Dokter telah mendapatkan izin dan segera mengoprasiku. Akan tetapi aku merasa ada seseorang yang menungguku, yang sabar menemaniku, yang setia mengasihi serta mendoakanku. Akan tetapi sosok itu amat sulit aku kenali. Aku tidak bisa melihat sosok lelaki tersebut. Wajahnya begitu samar, aku tak mampu mengenalinya. Tertutup oleh kabut yang ada di mataku.

Dokter mengambil tindakan yang tepat untukku. Namun dokter harus memotong rambut panjangku yang indah dan aku sering membiarkannya tergerai. Dokter memotong habis rambutku, untuk memudahkannya melakukan operasi tersebut. Aku sangat menyukai rambutku karena rambut adalah mahkota wanita. Aku yang masih koma dan tidak sadarkan diri hanya pasrah ketika dokter memangkas rambutku satu per satu secara habis tanpa ada yang tersisa sedikitpun. Sebelum aku operasi aku sempat mengeluarkan air mata secara perlahan dan ketika itu aku yakin ada yang menggengam tanganku secara erat, dan aku merasakannya lewat sentuhan jari jemarinnya dan lewat desiran di hatiku.

Operasiku berjalan dengan baik selama 2 jam, beberapa jam kemudian aku sadarkan diri. Di waktu bersamaan ada lelaki yang pingsan dan di larikan ke ruang ICU.  Dengan tangis yang pecah aku mulai menangis, aku mendapati rambutku yang telah di pangkas dan tidak ada sehelai pun. Aku terus menangis, karena mahkotaku telah tiada, mahkotaku telah hancur. Aku kini tidak memiliki rambut lagi. Seketika aku malu, aku merasa malu. Aku tidak percaya diri dengan diriku yang sekarang. Setelah aku merasa cukup baikan selepas menenangkan diri, dokter menemuiku. Aku bertanya kepada dokter apakah selama aku menjalani operasi ada seseorang yang menungguku, ada seseorang yang menemaniku. Dokter berkata, ada seseorang lelaki yang setia menunggumu dan menjagamu. Bahkan lalaki itu sampai tidak sadarkan diri karena kelelahan menunggumu tanpa memikirkan kondisinya. Lelaki itu sedang ada di ruangan ICU .

Aku hendak berlari berlari menemui lelaki itu, akan tetapi ada seorang perawat yang datang ke ruanganku perawat itu membawa buku. Sepertinya aku mengenal buku tersebut. Aku terkejut, teringat itu adalah buku diariku akan tetapi aku belum sempat untuk membacanya. Perawat berkata sebelum lelaki itu koma dia meminta perawat tersebut menyerahkannya kepadaku. Dengan hati yang gusar dan menahan tangis aku tidak menghiraukan kata-kata dokter. Dokter telah berkata bahwa aku belum cukup sehat. Namun aku tidak peduli dengan kondisiku. Siapa kah pria yang menghabiskan waktunya hanya untuk menungguku, menggenggam tanganku dan membuatku kuat. Aku berlari keruangannya namun perawat melarang aku untuk masuk. Perawat mencegahku untuk masuk, tetapi dokter mempersilahkanku untuk masuk karena pasien sedang mengalami koma dan tinggal menunggu waktu. Aku tersentak dengan perkataan dokter tersebut. Aku mengecam bahwa perkataan dokter tidaklah benar. Ilmu yang dia gunakan salah. Dokter salah memvonis orang. Dokter salah besar, aku menjerit dalam hatiku. Hatiku seperti tersayat-sayat mendengar perkataan dokter dan perlahan air mataku turun di sudut-sudut pipiku.

Aku masuk dengan menggunakan pakaian steril dari rumah sakit. Lelaki ini yang setia menungguku. Lelaki ini yang mengorbankan waktunya hanya untukku. Lelaki yang aku temui di pantai. Yang membuatku kesal dan marah kepadanya. Yang menumpahkan minumannya, serta mendorongku. Aku tidak salah. Laki-laki ini yang terbujur lemah dan aku melihatnya dengan jelas. Dia menahan sakit selama ini. Dalam hatiku berkata mengapa ini semua harus terjadi dengan dirinya. Aku merasakan nyeri pada bagian ulu hatiku. Hatiku sungguh tak menentu. Aku bersusah payah menahan tangis dan memberanikan diri mengenggam tangannya dan membuatnya kuat. Walaupun dokter berkata bahwa umurnya tak lama lagi akan tetapi aku terus percaya kepada tuhan. Namun mukjizat itu bukan untuk dia. Setelah aku mengenggam tangannya dengan erat dan tangisku pecah. Aku yang menahan tangisku perlahan meneteskan air mataku jatuh dan tepat mendarat di tangannya. Aku rasa dia dapat merasakannya, tangannya mulai bergerak dan dia tersadar. Aku sangat senang saat itu, dia ingin berkata kepadaku. Dia memberi isyarat lewat tangannya untuk membuka oksigen. Akan tetapi aku ragu dan berkata tidak. Dia memaksaku untuk membukanya. Dia hanya berkata satu kalimat dan aku harus mendengarkannya dengan baik. Dia mengucapkan aku mencintaimu, dan aku tidak salah mendengarkannya. Aku tidak salah mendengarkannya, aku yakin tidak salah. Ketika kata itu telah di ucapkan, dia pergi meninggalkanku. Dia pergi, sungguh dia pergi. Seketika aku menjerit, dunia sungguh amat kejam.

Aku tak kuasa menahan tangis yang aku bendung. Aku menjadi wanita yang menderita. Aku tak kuasa melihat seseorang yang aku cintai pergi meninggalkanku. Aku terbujur lemah dan tak berdaya. Hatiku sakit, hatiku memberontak. Dunia bahkan tak seindah dulu. Dunia begitu kejam dan mengambil semua hakku. Belum sempat aku membalas ungkapan hatinya, belum sempat aku menghabiskan waktuku dengannya. aku yang masih lemas, tersadar bahwa dia telah tiada. Aku masih mengenggam tangannya, bahkan ketika dia telah tiada. Aku tak tau seberapa banyak air mata yang telah aku keluarkan. Yang jelas air mata itu tumpah. Aku dengan hati yang tercabik-cabik harus datang ke pusarannya melihatnya untuk terakhir kalinya di penghujung peristirahatannya yang terakhir.

Aku masih dengan perasaanku, perasaan yang sulit aku ungkapkan. Aku membenci dunia yang begitu kejam, dan tidak memberikan sedikitpun kebahagiaan untukku. Bagaimana dunia tega mengambil semua orang yang aku sayang, orangtuaku dan juga cintaku. Aku masih terpukul, hatiku begitu nyeri. Pilu di hatiku tidak dapat aku gambarkan dengan jelas. Luka ini sungguh amat membekas di dalam hatiku. Luka di hatiku yang teramat sakit. Aku memberanikan diri membuka diariku yang tertinggal pada saat aku ke pantai sebelum kejadian kecelakan itu. Aku memberanikan diri untuk membukannya.

Nafasku tersenggal tercekat di kerongkongan, aku menahan tangis ketika aku melihat lembaran diariku. Tangisku pecah, aku benar-benar menangis karena dia. Dia yang aku anggap mengabaikanku dan mengacuhkanku justru malah mencintaiku lebih dari apapun. Aku menangis, benar-benar menangis sejadi-jadinya. Di akhir diari aku membaca ungkapan hatinya kepadaku dan dia menyuruhku ke pantai. Ada sesuatu yang ingin diberikannya kepadaku. Aku menyeka air mataku yang turun di setiap sudut pipiku, dengan menahan tangis aku membacannya.
Kau ibarat dewi malam
Kau memberikanku secercah cahaya di tengah gelapnya hidupku
Cahaya yang aku sendiri tak mampu untuk menahannya
Hatiku yang kosong, perlahan kau isi
Hatiku yang mati kini perlahan tumbuh kembali
Benih itu, kau yang tuai
Lewat tulisan ini kamu bisa melihat bahwa hatiku tertuju hanya untukmu. Maaf bukan aku tidak bisa membalas cintamu, namun sudah waktuku untuk pergi. Sebelum aku pergi aku hanya ingin memberi tahu isi hatiku kepadamu. Aku takut tidak  sempat berbicara kepadamu tentang perasaanku, tidak sempat mengutarakan isi hatiku. Aku juga telah menggambil diari yang tertinggal lalu membacanya. Aku juga melihat kecelakaan itu, aku mengikutimu selama ini. Aku mulai menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu dan sungguh aku menyesal dalam hatiku sendiri karena aku membiarkanmu ada dalam kecelakaan itu dan tak bisa berbuat apapun. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri jika ada sesuatu yang terjadi padamu. Bahkan ketika dokter berkata kamu harus di operasi, aku berkali-kali memaki diriku dan memarahi diriku sendiri.

Aku bahkan tidak sanggup melihatmu untuk di operasi. Aku benar-benar dalam perasaan kalut dan takut. Takut ketika sedang operasi ada sesuatu hal yang terjadi padamu. Namun perasaan lega itu muncul setelah kamu selesai di operasi. Aku sudah tahu bahwa dokter harus memotong rambutmu. aku juga telah berbicara banyak kepada dokter, konsultasi masalah kesehatanmu. Tapi tahukah kamu? Aku tidak gentar sedikitpun untuk terus mencintaimu bahkan jika rambutmu tidak ada sekalipun. Aku tidak takut soal rambutmu, atau karena rambutmu akan habis maka kecantikanmu berkurang. Sama sekali tidak, aku mencintaimu berdasarkan kata hatiku, bukan dari mata yang hanya bisa melihat dari fisik seseorang. Yang aku takutkan, perasaanmu yang berkurang untukku.  Aku bukanlah orang yang seperti itu. Kamu tahu, aku yang menjaggamu bahkan ketika kamu dalam keadaan yang belum sadarkan diri . Aku juga yang terus bolak balik kesana kemari ketika kamu masuk karena kecelakaan. Aku meninggalkanmu bukan karena aku tidak mencintaimu, justru aku membuat suatu kejutan karena ingin mengungkapkan perasaanku. Sudah waktuku untuk pergi, aku di vonis dokter menderita thalassemia penyakit kelainan darah dan penyakit ini diwarisi dari ibuku. Penyakit ini telah merambah dan yang menyebabkanku kompikasi pada bagian-bagian organ dalam tubuhku. Aku telah mengetahuinya setahun lalu, aku sengaja tidak berobat karena aku tahu kondisiku sudah terlalu parah. Kamu ingin waktu pertama kita bertemu? Aku bersikap acuh karena aku ingin menghindar darimu, aku takut jika kamu menyukaiku dan kamu tidak bisa menerimaku di penghujung waktuku. Semakin aku menghindar, semakin aku tertarik denganmu, dan perasaan itu muncul tidak terduga. Maaf karena telah pergi begitu saja dan memberikan bekas luka di hatimu, sekali lagi aku mencintaimu. “ Hiduplah untuku” Sekali lagi aku minta Maaf ....

Tidak hanya itu yang dia berikan untukku, setelah aku membaca diariku aku beranjak pergi ke pantai. Aku mencari letak gubuk terebut. Persis sesuai yang di suruhnya di dalam diari. Aku melihat ada seseorang yang memberiku petunjuk, Aku melihat sebuah gubuk di tepi pantai yang telah di hias dengan foto-fotoku menggunakan tali dan di tempel dengan perekat jepitan. Foto dari awal aku bertemu dengannya. Dia memfotoku dari berbagai macam pose. Perkatannya benar, dia mengikutiku. Karena banyak sekali foto-fotuku di letakkan di situ di bagian manapun. Juga foto waktu aku membersihkan bajuku. Bahkan tidak hanya itu, dia telah menyiapkan lilin dengan bertuliskan I LOVE YOU yang sengaja dia buat hanya untukku. Tubuhku lemas, lunglai dan tak berdaya. Seketika aku terjatuh pada hamparan pasir, seketika hatiku merasakan nyeri. Hatiku terkoyak-koyak dan menjadi kepingan kepingan yang hancur. Aku bahkan tidak bisa menangis, telah banyak air mata yang telah aku curahkan. Aku tidak sanggup menghadapi semua ini. Aku depresi dan trauma akan hal ini. Pantai sudah tak lagi indah, pantai kini berubah menjadi suram. Bunga tak lagi bermekaran, langit tak lagi menjadi biru. Matahari seakan tak nampak di penghujungnya. Bintang lupa bagaimana cara menampakan sinar terangnya. Dewi malam diam seakan membisu. Aku hancur..

Selama dua tahun aku mengalami depresi berat selepas di tingalkannya, aku menghukum diriku dan mengutuk diriku. Aku merasa amat bersalah dan aku berpikir aku adalah penyebab kematiannya. Aku tak punya lagi semangat untuk hidup, harapanku telah mati tersapu tingginya ombak dan terdampar di batu karang. Aku merasa kalut bahkan aku berpikir untuk mengakhiri hidupku. Tetapi itu tidak aku lakukan jika mengingat kata-kata yang di ucapkannya “Hiduplah Untukku”. Aku tersadar bahwa yang aku lakukan ini adalah sebuah kesalahan.

Cukup 2 tahun ini aku mengutuk diriku sendiri, sudah cukup semuannya. Aku pergi ke pusarannya siang itu, lalu sorenya aku memberanikan diri pergi ke pantai untuk mengenang tiap-tiap kejadian dalam hidupku. Luka itu kini mulai tekuak dan membentuk kepingan kejadian. Aku masih menginggatnya, dan sunset hari ini menutup semua kejadianku. Dewi malam menjadi saksiku betapa aku sangat mencintainya. Sungguh aku sangat mencintainnya.
Penulis : Haneul

Related Posts

Post a Comment