http://www.griyatulisan.com/, Keadilan secara definitif berarti kesetaraan atau
kesamarataan antara hak dan kewajiban, akan tetapi adil juga sering diikuti
dengan kata “tidak harus sama”. Maka dari itu, adil merupakan sesuatu yang
sangat dinamis dan juga sensitif. Kenapa sensitif? Karena tolok ukur adil itu
sendiri berbeda-beda disetiap sudut pandang manusia.
Sebuah pakem harus dibentuk guna meletakan
keadilan sesuai dengan tremnya. Salah satu pakem yang sangat reliable untuk
menjunjung tinggi keadilan adalah dengan kesetaraan gender. Benar, kesetaraan
gender merupakan pedang yang ampuh untuk menebas ketidakadilan yang menjadi
tirani antara hak dan kewajiban lelaki dan perempuan.
Hal tersebut bisa dibuktikan dengan realitas bahwa
sejauh ini masih terpelihara dengan baik budaya patriarki yang tidak lain
merupakan buah Khuldi yang dihasilkan dari kontruksi sosial. Contoh
kecilnya adalah dalam satu keluarga, penempatan seorang suami biasanya
diletakan diatas eksistensi seorang istri dalam berbagai hal seperti menjadi
tulang punggung keluarga dan penentu keputusan.
Kultur budaya yang seperti itu otomatis
menempatkan suami menjadi sosok kepala keluarga, sedangkan apabila ada sebutan
kepala keluarga bukan tidak mungkin ada sebutan kaki keluarga. Lalu
pertanyaanya, siapa yang mau diposisikan sebagai kaki dalam satu keluarga?
Prespektif feminisme melihat hal tersebut sebagai suatu ketimpangan gender.
Bagaimana tidak, pihak lemah (atau sengaja
dilemahkan) adalah istri yang dituntut harus nerimo ing pandum terhadap
setiap perkataan suami. Padahal berbicara tentang hak dan kewajiban, keduanya
memiliki proporsi yang sama dalam kaca mata kesetaraan gender.
Para feminisme berpendapat bahwa yang membedakan
antara lelaki dan perempuan hanya sebatas objek biologis reproduksinya yang
bersifat given. Seperti lelaki memiliki penis dan perempuan memiliki
vagina, perempuan mengalami menstruasi dan lelaki mengalami mimpi basah, selain
dari hal tersebut keduanya memiliki hak dan kwajiban yang sama.
Apakah perempuan hanya ditugaskan di dapur? Apakah
lelaki hanya ditugaskan mencangkul? Jawabanya adalah tidak sama sekali.
Pembangunan budaya sosial dimsyarakatlah yang mengharuskan mereka bertindak
seperti itu, padahal sebenarnya mereka memiliki otoritas kebebasan terhadap diri
mereka untuk berlaku dan bertindak.
Jika hak dan kewajiban mereka direnggut atas nama
kultur budaya yang kurang tepat dan sudah terpelihara dari sejak zaman sebelum
kemerdekaan hingga sekarang, maka selama itu ketidakadilan juga akan turut
serta dalam kultur budaya tersebut.
Perlu diketahui bahwa para pejuang kesetaraan
gender tidak hanya membela hak perempuan akan tetapi juga hak lelaki tergantung
berada dimanakah posisi identitas mereka dalam tataran sosial. Mereka pun akan
turun dan membantu para lelaki ketika dalam posisi identitas sosial lelaki
tersebut ternyata berada dibawah dan masuk dalam golongan yang termarjinalkan.
Asumsi bahwa gender adalah seksual, gender adalah
jenis kelamin, dan gender adalah hanya sebatas bahasan tentang perempuan merupakan
pendapat yang salah kaprah. Lebih luas lagi gender merupakan bentukan
masyarakat terhadap segala sesuatu yang harus dan tidak harus dilakukan oleh
lelaki dan perempuan.
Perampasan hak seperti menentukan pilihan,
mengutarakan pendapat, hingga melakukan hal yang diinginkan jelas merupakan
bentuk kejahatan hak asasi. Bagaimana tidak, mereka yang terampas haknya akan
diborgol dan dipaksa untuk berjalan dijalur yang tidak semestinya ia lewati.
Jika sudah demikan bukankah tergores hakikat kemanusiaan mereka dan tergambar
inti sebuah kekejaman dihadapan mereka.
Meskipun demikian, hak untuk bebas menentukan
pilihan, mengutarakan pendapat, hingga melakukan hal yang diinginkan juga harus
memiliki batasan yang jelas. Batasan dari hak seseorang adalah hak orang lain,
maksudnya ketika seseorang melakukan tindakan yang sekiranya ia suka juga
jangan sampai menyinggung hak orang lain.
Contohnya, seorang perempuan yang mengenakan
celana pendek berjalan didepan sekumpulan lelaki di area pondok pesantren.
Meskipun mengenakan celana pendek merupakan hak perempuan tersebut, akan tetapi
sekumpulan lelaki tersebut akan dibuat alang-kepalang dan blingsatan melihat
paha mulus yang diumbar padahal itu berada di area pondok pesantren.
Jadi selain mengetahui batasan hak orang lain
lelaki dan perempuan juga harus bisa membawa dan menempatkan diri dalam setiap
tindakan dan perbuatan. Jangan sampai kemudian kesetaraan gender dijadikan
dalih guna melakukan tindakan yang sebebas-bebasnya. Mengatasnamaan kesetaraan
gender dalam bertindak sebebas-bebasnya adalah suatu tindakan yang tidak bijak
sama sekali.
Memahami keadilan berarti harus mengetahui hakikat
presisi dari kesetaraan gender karena kesetaraan gender akan berdampak besar
bagi terciptanya keadilan yang seadil-adilnya. Misalkan dalam satu keluarga,
ketika sebutan kepala keluarga berindikasi kepada tidak setaranya gender maka
sudah sepatutnya sebutan tersebut tidak digunakan.
Kedudukan yang egaliter antara lelaki dan
perempuan atau suami dan istri dalam suatu hubungan sosial kekeluargaan dan
saling menyampaikan pendapat dalam setiap penentuan keputusan akan menjadi
cikal-bakal terciptanya kesetaraan gender. Setaranya gender akan otomatis
diikuti dengan keadilan yang dirasakan satu-sama lain.
Maka dari itu, pentingnya edukasi tetang
kesetaraan gender harus masif dilakukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk
menebas budaya usang yang menomor-sekiankan kesetaraan gender. Mengingat budaya
tersebut sudah mengakar maka perlu ada tindakan kontinyuitas dari para stakeholders
kepada masyarakat pasca edukasi tentang kesetaraan gender.
Kesetaraan gender berbuah keadilan sosial adalah suatu keniscayaan. Tabik
!!!
Penulis : Julianto Nugroho
Post a Comment
Post a Comment