Panas Matahari membakar kuliatnya, guyuran keringat
membasahi tubuhnya. Terlihat begitu lelah, di pinggiran jalan. Duduk menyendiri
menunggu para pelajar menghampiri, demi lembaran nominal yang berharga. Tak
pergi kemana-mana, hanya duduk, duduk di samping gerobak, gerobak penghidupan
baginya.
Lama sudah ia menjalani rutinitas seperti itu, menjadi
pedagang pinggiran mencari nafas penghidupan. Katanya, “semua demi yang
dirumah”. Orang-orang menyebutnya pedagang kaki lima (PKL), seorang pedagang
kecil di salah satu trotoar kota, kota pendidikan katanya.
Aku berada di halte dekat dengan tempatnya berdagang,
menikmati wifi gratis dari sekolah pinggir kota. Kulihat wajahnya begitu pucat,
terlihat sangat lelah. Ia terdiam, menunggu, dan mengipas-ngipas dirinya yang
kegerahan dengan koran bekas yang ditemukan di samping pos satpam. Tapi kadang
beberapa detik berhenti mengipas-ngipas, dibacanya berita dari potongan koran
yang dipegangnya.
Berjam-jam sudah ia menunggu, menunggu para pelajar yang tak
kunjung keluar, tanda-tanda bel istirahat berbunyi pun juga tak ada. Dan ia
masih saja terdiam. Tapi kadang juga berbicara dengan beberapa teman PKL yang
ada di dekatnya. Pun masih tak banyak bersuara, hanya kata, "Alhamdulillah
sehat," yang dilontarkan ketika temannya bertanya, "Pie kabare, pak
Mud?"
Hingga waktu yang ditunggu pun datang juga. Bel istirahat
sekolah berbunyi, pukul 14.37 WIB, waktu istirahat bagi siswa-siswi kelas IV-VI
MI. Dan inilah waktu yang tepat untuk pak Mud beraksi. Ia bersuara, "Ayo
mainannya, wayang kardus, pistol (paralon) halilintar, yoyo, dan kincir
angin," tak hanya itu, kadang ditambah dengan, "Ada gasing dan poster
artis keren disini".
Para pelajar menghampiri, melihat-lihat dagangannya.
"Berapa yoyo nya, pakde?" tanya salah
satu pelajar kelas IV.
"Dua ribu, dek," jawabnya sembari mengeluarkan
beberapa mainan yang masih ada di dalam gerobak.
"Ini gampang pecah nggak, pakde, kalo diadu?"
"Nggak dong, dijamin pasti menangan, dek."
"Okelah, ini pakde, satu saja," siswa itu menjadi
pembeli pertamanya.
Kemudian datang lagi rombongan kelas V, melihat-lihat mainan
gasing yang terbuat dari bambu. "Berapa ini om?" tanya mereka.
"Tiga ribu saja."
"Kalau wayangnya, om?"
"Lima ribu yang itu," ia menunjuk tokoh Semar,
"Kalau itu tiga ribu saja," lanjutnya pada beberapa tokoh wayang
seperti Petruk dan Gatot Kaca.
Ada lagi yang datang, melihat pistol paralon, lalu bertanya,
"Ini pelurunya pakai apa, om?"
"Pakai kerikil bisa, dek. Harganya tiga ribu."
Siswa itu mengeluh "Yaah, om, uang jajanku tinggal
seribu," lalu pergi.
Rombongan kelas V masih memilih dan melihat dagangan unik
pak Mud, tapi salah satu dari rombongan itu merasa tak betah, "Sudah lah,
beli batagor saja yok. Lapar ini," dan akhirnya mereka pun pergi
meninggalkan lapak pak Mud.
Terhitung sepanjang tiga puluh menit lebih waktu istirahat
sekolah, ada banyak pelajar yang datang melihat dan memilih di lapaknya.
Bertanya ini itu, dan tertawa. Ya, tertawa, karena pak Mud juga menghibur para
pelajar itu dengan lakon wayang dilapaknya. Meski selalu ramai, tapi entah,
berapa pelajar yang benar-benar datang untuk membeli dagangannya.
Satu pandangan yang pasti, ada siswi kelas VI yang gemar
membeli wayang kardusnya. Perempuan berjilbab hitam berbadan gemuk. Selama
sering menongkrong di halte ini, kulihat perempuan itu selalu menghampiri lapak
pak Mud, sekembalinya ia pasti membawa wayang kardus, tokoh Semar dan Gatot
Kaca.
Hari ini, ku ikuti kemana perginya Pak Mud sesudah berjualan
di pinggir jalan area sekolah. Sekitar pukul 15.30 WIB. Setelah selesai
membereskan lapaknya, ia berjalan mendorong gerobaknya ke arah utara.
Lebih dari dua kilometer ku ikuti, melewati komplek rumah
warga. Sepanjang jalan ia membunyikan suara botol kaca yang dipukul dengan
sendok, "Ting..., ting..., ting...," kemudian bersuara, "Mainan
unik, mainan murah, mainan langka". Tapi, bukannya menarik perhatian para
pembeli untuk datang, justru ia malah disapa warga, "Mampir, pak Mud,
kesini dulu istirahat".
Pak Mud menjawab, "Iya, terimakasih," lalu
tersenyum dan berkata, "Buru-buru, anak saya sudah menunggu."
Dan terus ku ikuti perjalanannya, hingga sampai pada sebuah
gang kecil di samping masjid. Di tinggal lah gerobaknya itu di dekat area tempat
wudhu. Dari situ, terlihat ada sebuah rumah kecil yang terbuat dari papan,
berukuran sekitar 7x5 meter.
Dua anak kecil keluar dari rumah itu, dua perempuan, anak
pak Mud. Yang kakak berumur enam tahun dan yang adik berumur lima tahun.
"Bapaakkk," teriak mereka. Pak Mud pun memeluk mereka, tapi kemudian
meneteskan air mata, entah sedih entah bahagia. Aku tak tahu.
Salah satu dari anaknya bertanya, "Pak, ibu kemana, kok
nggak pernah pulang? Aku pengen peluk, ibu," tanya anak pak Mud yang
paling muda dan yang paling peka hatinya, ya wajar, karena indera
penglihatannya sudah tak berfungsi normal, ia buta.
Pak Mud hanya diam, justru sang kakak yang menjawab,
"Ibu kerja, dek. Belum bisa pulang. Bener kan, Pak?"
Pak Mud tak juga bersuara, ia malah memeluk lebih erat kedua
anaknya. Matanya kian deras air mata.
"Bapak, kenapa menangis, pak?"
"Iya, pak. Kenapa menangis?"
Pak Mud mengusap air matanya, ia pun mulai berkata,
"Suatu saat kalian akan bertemu ibu, nak," sambil tersenyum ia
melanjutkan, "Di sebuah tempat yang paling indah, melebihi indahnya dunia
ini. Doakan terus ibumu agar dijaga oleh Allah ya, nak."
"Iya, pak. Aku sayang ibu," ucap anak tertua.
"Aku juga," sahut adiknya.
Mereka pun saling memeluk. Pelukan keluarga penuh cinta yang
banyak di dambakan orang. Aku yang melihatnya pun merasa penuh haru.
Dalam suasana seperti itu, sang adik bertanya lagi,
"Bapak, hari ini kita makan apa?"
Dikeluarkannya hasil penjualan hari ini oleh pak Mud,
"Ini, nak. Cari makan. Belikan adikmu makanan. Ini buat makan
kalian."
"Dua puluh ribu, pak? Besok kita makan apa? Hari ini
bapak sudah makan?" tanya sang kakak.
"Bapak sudah makan, nak. Yang penting kalian harus
makan hari ini," jawab pak Mud yang ku kira bohong. Tampak jelas wajah
pucat darinya, tanda kurang sehat. Pasti kelaparan.
Sepertinya kedua anak pak Mud sudah terbiasa dengan keadaan
itu. Segeralah sang kakak pergi membeli makanan, melewati gang di area tempatku
berdiri. Dan saat itu juga, aku sudah meninggalkan mereka.
Dalam perjalanan pulangku, rasa penasaran terus menghampiri,
"Seperti apa sebenarnya keluarga pak Mud itu?". Ku temui bu Patmi,
seorang ibu rumah tangga yang membuka warung di rumahnya. Dialah yang tadi
menyapa pak Mud.
Dari Bu Patmi inilah, aku mengetahui, "Pak Mud, namanya
Mahmud. Dia itu duda, sudah di tinggal wafat istrinya sejak melahirkan anak
kedua. Sejak itu, beliau merawat kedua anaknya sendirian, keluarganya entah
kemana. Dulu dia itu buruh di pabrik, karena sempat depresi di tinggal istri,
ia molor kerja dan akhirnya di PHK. Sekarang ia jadi penjual mainan
tradisional, dan penghasilannya pun nggak banyak. Anaknya kalau belanja sering
kesini. Sering saya tanya mas...," belum selesai bercerita, dari sebuah
gang kecil yang ku lewati tadi, datang anak pak Mud, dan mendekat ke warung.
"Bude, beli telurnya dua sama beras satu kilo,"
ucapnya.
"Ohh, iya. Bapak sudah pulang toh, ndok?" tanya
basa-basi bu Patmi.
"Iya, barusan pulang, bude."
Diberinya pesanan itu dan anak pak Mud memberikan semua uang
pemberian bapaknya ke bu Patmi.
"Ndok, ini uangnya pas ya," ucap bu Patmi
membuatku heran, "kemarin kan masih ada hutang, jadi buat bayar hutang
sekalian ya."
Anak pak Mud terdiam dan mengangguk, tanda menyetujui. Tapi
masih aku terheran, teganya orang ini. Sungguh.
Anak pak Mud segera pergi meninggalkan warung. Dan bu Patmi
melanjutkan ceritanya, "Anaknya itu ada dua, yang satu buta, mas. Dan pak
Mud umurnya sekarang...,"
Tak peduli dengan cerita bu Patmi, ku kejar anak itu dan ku
panggilnya, "Dek.." ia pun menoleh.
"Ini, rezeki untuk keluarga adek. Bilang sama bapak,
ini rezeki dari Allah."
Ia hanya tersenyum dan berkata, "Terimakasih, kak.
Semoga diganti yang lebih banyak sama Allah," lalu melanjutkan
perjalananannya.
Aku masih berdiri, melihat anak pak Mud berjalan menuju
rumahnya. "Keluarga hebat," kataku dalam hati. Keluarga yang
menyadarkanku, bahwa "Hidup itu penuh dengan perjuangan".
Penulis : Ahmad
Mustaqim Mahasiswa PGMI IAIN Metro
Post a Comment
Post a Comment