Pemahaman kembali
terhadap esensi Pancasila adalah salah satu cara mereposisikan sikap dan pola
pemikiran mengenai hakikat toleransi pluralisme. Kesaktian Pancasila secara
rasional sejatinya adalah kanuragan yang cukup mampu merangkul perbedaan yang
ada di Indonesia. Formulasi proporsional dari buah pemikiran dan gagasan
pendiri bangsa menghasilkan rajah yang maha dahsyat bernama Pancasila.
Belakangan ini
isu-isu terkait kebhinekaan, radikalisme, dan SARA faktanya mampu menubruk
nilai-nilai Pancasila yang luhur. Sentimen terkait dengan golongan ekstrimis
agama khususnya yang saat ini cukup menarik perhatian publik.
Bagaimana tidak,
dari mulai ormas-ormas yang dianggap radikal hingga cara berpakaian seseorang
saat ini mampu menjadi identitas yang disematkan secara serampangan oleh orang
awam kepada mereka yang dianggap masuk kedalam golongan ekstrimis tertentu saat
ini sangat mudah ditemukan.
Contohnya adalah
cara berpakaian seorang perempuan yang bercadar. Hal ini menimbulkan berbagai
spekulasi di mata masyarakat. Pertama, perempuan bercadar bisa dianggap sebagai
orang yang pemahaman agamanya sangat mendalam. Kedua, mereka dianggap sebagai
orang yang berlebihan dalam beragama dan bahkan membuat sulit apa yang dimudahkan
oleh Allah SWT.
Asumsi kedua seperti itulah yang bisa menjadi cikal-bakal
anti pluralisme. Mereka yang memandang sebelah mata dan menyinyir para
perempuan yang bercadar dengan alasan-alasan seperti, mirip istri teroris,
aktivis golongan radikal, kaum ekstrimis beragama, dan lain sebagainya sama
saja sudah mendiskriminasi perseorangan maupun golongan.
Diskriminasi akan
berdampak pada posisi identitas di ruang publik yang akhirnya akan membuat
seseorang maupun kelompok menjadi termarjinalkan. Hal ini jelas sudah melenceng
dari Pancasila, tindakan mendiskriminasi orang lain tidak dapat dibenarkan
dengan alasan apapun. Pancasila pun hadir dan lahir dari perbedaan gagasan dan
cara pandang para pendiri bangsa.
Butir-butir
Pancasila seperti, “kemanusiaan yang adil dan beradab”, “persatuan Indonesia”,
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” adalah titik tumpu dari
larangan melakukan diskriminasi. Diskriminasi dalam tingkatan yang tinggi dapat
menjurus kearah kekerasan kepada mereka yang dianggap berbeda dan
pemecahbelahan di kelas-kelas sosial.
Melihat
sensitifisme penggunaan cadar di mata banyak orang maka setidaknya ada dua poin
penting yang harus diperhatikan dan keduanya itu sudah wajib hukumnya untuk
berpedoman pada Pancasila. Jika sudah berpedoman kuat kepada Pancasila maka
kekuatan dahsyat Pancasila akan muncul selaras dengan kepercayaan kuat yang
terkandung di dalamnya.
Pertama,
merekonstruksi pemahaman diri terkait dengan makna toleransi secara lebih
mendalam dengan melakukan studi terhadap butir-butir Pancasila. Pasalnya
seseorang yang memahami dengan kaffah hakikat toleransi akan mampu
menghargai perbedaan, dengan kata lain tidak akan melakukan tindakan-tindakan
diskriminatif. Setidaknya tiga butir Pancasila di atas mampu dijadikan sebagai
pakem dalam bertindak dan berperilaku.
Pancasila juga
sebagai cakar ayam yang mencengkram kuat berdirinya negara multikultural ini
akan tetap kokoh berdiri jika seluruh warga negara menjunjung tinggi dan memahami setiap butir-butirnya. Mengingat
kembali bahwa Pancasila adalah hasil ikhtiar pendiri bangsa yang paham betul
akan keberanekaragaman dan pluralitas SARA.
Relevansi antara
pemahaman butir-butir Pancasila dengan sentimen para pengguna cadar di
Indonesia adalah tentang attitude toleransi berprinsip dan berkeyakinan
demi terciptanya persatuan Indonesia secara menyeluruh dan merata.
Kedua, mereka
yang termarjinalkan dalam hal ini adalah para perempuan bercadar juga sebaiknya
tidak mengekslusifkan diri terhadap lingkungan sekitar. Bercadar memang bukan
budaya asli indonesia akan tetapi keberadaan mereka yang bercadar sebenarnya
justru menambah keberagaman dalam berpakaian. Mereka yang bercadar selain
menjalankan sunah biasanya juga melakukan dakwah.
Di beberapa
lingkungan, memakai cadar malah mengundang sinis dari masyarakat. Orang
bercadar dianggap ekstrem dan berlebih-lebihan dalam beragama. Tentu di
lingkungan seperti ini, jika seorang Muslimah tampil dengan cadarnya akan
menyulitkan dakwah. Awalnya, masyarakat mau bersimpati dengan dakwah, akibat
tampil dengan cadar, mereka jadi bersikap sinis dan menjauh.
Hal seperti ini
juga harus diperhatikan oleh mereka yang bercadar sebagai bentuk strategi
berdakwah yang tepat sasaran. Mereka yang sudah sadar akan posisinya di
ruang-ruang publik sejatinya memang harus mampu melihat prespektif masyarakat
terhadap dirinya untuk bisa memposisikan diri sehingga dapat diterima di
masyarakat.
Akhirnya jika
stigma negatif terhadap mereka dapat terkikis dan toleransi tercipta maka
tujuan dalam butir-butir Pancasila akan terealisasi. Hal tersebut tentunya
perlu dukungan dari seluruh elemen masyarakat yang secara masif harus
benar-benar memahami kedudukan Pancasila sebagai media pemersatu perbedaan.
Masyarakat yang cerdas adalah mereka yang paham makna toleransi dan menghargai
perbedaan tanpa harus mendiskriminasi yang tak sepaham.
Penulis :
Julianto Nugroho
Post a Comment
Post a Comment