Suka Desa atau Kota

Post a Comment



Sore hari di Kota Metro yang permai sekitar pukul 16:00 WIB terdengar riuh suara yang amat asik bersaut-sautan antara muda-mudi di sebuah lokal mungil,  kurang lebih yang panjangnya 4 meter dengan lebar 3 meter dan tingginya 5 meter. keramaian itu membangunkan rasa ingin tahu-ku, sebenarnya apa yang terjadi sehingga suara muda-mudi  itu terdengar amat asik dalam diskusi. Tidak lama kemudian aku pribadi mendatangi tempat tersebut dan ku dapati tiga orang gadis muda dan satu orang pria sedang asik berdiskusi. Aku dipersilahkan masuk dengan amat sopan dan dipersilahkan duduk secara santun, tidak muluk-muluk atau rasa canggung lagi segera diri Ini kubawa masuk untuk duduk bersila dengan para muda-mudi dan ikut menyimak materi dari bahasan diskusi.

Baru saja aku bergabung dalam diskusi, suasana sudah sangat akrab karena kami saling menerima pendapat atau gagasan secara demokrasi. Hal ini dilatari oleh beberapa faktor kesamaan, antara lain kesamaan usia. Tiba-tiba saja seorang gadis muda yang jelita, salah satu dari pegiat dalam diskusi tersebut  mengucapkan “Hmmm, sepertinya cuaca akan hujan” dan tidak lama kemudian terdengar suara halilintar yang amat besar sekaligus mengiringi air hujan turun dipermukaan bumi Metro.
Meskipun hujan turun dan menambah kebisingan saat itu, karena pancuran air hujan yang jatuh dari ketinggian langit tepat di atas atap seng atau gembreng sebagai penghalang lokal mungil atas panas matahari dan hujan dari langit. Tidak sama sekali menyurut semangat para muda-mudi untuk tetap berdiskusi sebagai bentuk budaya para intelektual masa kini.

Sawang sinawang atau mengamati tentang materi dalam diskusi yang terjadi, ternyata dipacu oleh pertanyaan salah seorang gadis muda bahwa “ Enakan tinggal di desa atau di kota”. Apabila mengacu pada  subtansi dari pertanyaan yang dilontarkan oleh gadis muda tersebut, memang bukan menjadi hal yang berarti dan hanya serasa biasa saja. Namun, ini menjadi sangat menarik ketika dikaitkan dengan pelbagai persoalan komplek negeri ini yang penuh dengan hiruk-pikuk permasalahan. Terlebih lagi, asal (background) tempat tinggal kami yang beraneka ragam, ada yang memang asli berdomisili di Metro dan ada juga yang hanya sebagai imigran atau pendatang di Metro untuk sekedar belajar, menambah pengetahuan, pengalaman atau mencari masa depan di Metro.

Dewasa ini, konflik yang bersifat  terselubung seperti politik kotor, spekulasi, transaksi gelap, dan masih banyak lainya ataupun konflik yang bersifat terbuka yaitu kriminalitas, seks bebas, narkoba, dan lain sebagainya sudah mewabah kesegala penjuru baik itu di kota maupun di desa. Menjadi sangat miris ketika mengamati kenyataan (realita) bahwa setiap tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, hingga detik frekuensi tingkat kejahatan maupun konflik-konflik terus meningkat dalam kwantitas maupun kualitasnya.

Dampak era Globalisasi telah jelas menggerus pakem-pakem budaya lokal  yang luhur, ramah tamah, gotong royong, simpatik, dan penuh sopan santun. Kearifan lokal (local wisdom) telah terpentalkam oleh paradigma modern seperti individuallisme, liberalisme, konsumerisme, kapitalisme, dan hedeonisme yang mempengaruhi tingkah laku setiap individu dalam peranya dikehidupan bermasyarakat. Pengaruh pola fikir yang  ditelan secara mentah-mentah tanpa penyaringan (filterisasi) yang bijak akan menimbul pelbagai persoalan dan konflik seperti masa kini.

Globalisasi telah menjadikan dunia kehilangan batasannya dalam dimensi ruang dan waktu, sehingga pertukaran informasi semakin lekas dan bebas. Hal demikian memberi banyak kemudahan dalam berinteraksi dan  bertransaksi, namun dampak absolut tersebut juga diiringi oleh pengaruh-pengaruh negatif yang sangat merugikan.Sebagian besar pengaruh modernisasi berada dalam wilayah perkotaan yang menjadi destinasi khlayak ramai untuk mencari matapencaharian, berinvestasi, berwisata, ataupun hanya sekedar belajar ilmu pengetahuan.

Kota atau khuta dalam bahasa Jawa karma, merupakan pemukiman yang berpenduduk relatif besar, luas area terbatas, pada umumnya bersifat non-agraris, dan kepadatan penduduk relatif tinggi (Kamus Tata Ruang). Dengan segala pernak-perniknya kota menwarkan kehidupan yang modern, bersih, rapi, dan serba canggih. Namun itu semua hanya terlihat sekilas terdengar  selintas, dan terasa sepintas dalam rayuan palsu kota guna menyeret para pekerja buruh, kuli, dan PSK dari pinggriran desa untuk mendatangi kota bak kumbang tahi mendekati kotoran binatang ternak.

Kecantikan sekaligus kebusukan kota bak kedua sisi mata uang logam yang tidak bisa di pisahkan. Kehidupan kota yang serba instan memaksa segala aktivitas produksi, distribusi, sampai konsumsi menjadi sangat cepat. Pola yang demikian cenderung tidak memperhatikan nilai-nilai alamiah, keramahan, kemanusiaan, dan kesehatan. Siapa yang kuat dia yang berkuasa merupakan bentuk hukum rimba yang absolut terjadi di kota-kota yang kehilangan budaya lokalnya.

Kebusukan kota yang amat jelas yakni eksploitasi besar-besaran sumberdaya alam dan sumber daya insani biasanya berkedok pembangunan. Lihat saja kota-kota besar atau Kota Metro politan seperti ibukota Jakarta banyak sekali sungai-sungai yang kotor bahkan beracun, udara menjadi panas dan pengap karena polusi yang mencemari, dan secara tidak sadar manusia hanya menjadi mesin-mesin pekerja yang berorientasi pada uang.

Bentuk refleksi dari itu semua adalah tumbuh dan berkembangnya sikap acuh-tak acuh menjadi paham individualisme yang dimiliki oleh setiap masyarakat perkotaan dan ini sudah jelas bukan cerminan budaya nusantara. Lunturnya keharmonisan dan kekerabatan dalam masyarakat kota memaksa manusia harus terus waspada terhadap setiap manusia lainnya. Hasilnya (output) rasa tidak aman, kegelisahan, dan kesemrawutan berada di perkotaan.

Pembanding yang lugas dari sebuah kota adalah sebuah desa karena identik dengan serba keterbelakangan dan masih sangat tradisional. Menurut Rifhi Siddiq desa adalah suatu wilayah yang mempunyai tingkat kepadatan rendah yang dihuni oleh penduduk dengan interaksi sosial yang bersifat homogen, bermatapencaharian dibidang agraris serta mampu berinteraksi dengan wilayah lain di sekitarnya. Desa menawarkan kehidupan yang sederhana nan alamiah dalam proses-proses memenuhi kebutuhan hidup sehingga lebih manusiawi bagi masyarakat di dalamnya.

Hari ini, bukan lagi desa menjadi tempat yang asri  dan damai seperti pada ungkapan cerita sebuah dongeng atau angan-angan seorang pemuda dan pemudi desa yang lugu. Tetapi kini telah nampak kotoran-kotoran pada baju desa yaitu tindakan kriminalitas, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan pelencehan moralitas yang berada di desa. Memang nampak pelik ketika masalah-masalah kota besar juga terjadi di desa. Faktor utama yang melatarbelakangi permasalahan di desa yaitu globalisasi telah merambah ke plosok-plok desa. Sehingga memunculkan paradigma baru merubah paradigma luhur dan tatanan adat istiadat desa yang sudah teruji telah mampu membawa desa dalam kerukunan dan kesejateraan.

Perubahan tingkah laku muda-mudi di desa yang seharusnya mengerti aturan dan tatanan cara bersikap yang baik dan benar sesuai budaya Indonesia menjadi berantakan dan salah kaprah dalam bersikap. Kasus yang marak terjadi adalah mabuk-mabuk’an, penggunaan obat terlarang (drugs), sampai seks bebas telah terjadi di wiliayah pedesaan.

Dewasa ini, pertukaran informasi sudah tidak mampu untuk dibendung lagi baik oleh negara, agama ataupun budaya lokal. Pertukaran infomasi telah membawa pengaruh positif ataupun negatif dalam prilaku maupun paradigma. Pengaruh tersebut sudah terjadi di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Yang perlu menjadi perhatian serius adalah pembekalan serta pendamping secara inten. Pembekalan tentang moralitas, sepiritualitas serta intelektualitas yang bijak dalam menerima informasi dari luar. Sedangkan pendampingan yang inten dapat dilakukan oleh kelurga, pemangku adat, pemangku sosial, dan pemerintah. Namun, bila semuanya telah terkontaminasi oleh paham-paham baru yang merugikan bangsa Indonesia atas lunturnya budaya lokal lantas siapa lagi yang akan mengarahkan dan membenarkan prilaku-prilaku tercela. Jawabanya adalah, nalar, akal dan rasa yang menjadi satu dalam sebuah kesadaran sebagai bangsa Indonesia yang memiliki sikap saling gotong-royong, patriotisme serta beriman untuk menjalankan aturan agamanya masing-masing.

Hari itu waktu mulai petang, sang surya yang bercahaya mulai redup dalam gedung-gedung, hutan-hutan, bukit-bukit, dan gunung-gunung. Diskusi sore itu diklosing oleh ungkapan salah seorang pemuda yang ikut berdiskusi. Ungkapnya yaitu, “Di desa maupun di kota kini sudah tidak ada yang memiliki kemurnian nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang, ketika teknologi dan informasi sudah masuk dalam suatu wilayah, maka pertukaran akan setiap lini kehidupan. Meskipun demikan tetap saja pusat perubahan pengaruh globalisasi adalah lingkungan elit, perkotaan yang meradiasi wilayah sekitarnya termasuk wilayah pedesaan. Sehingga dampak globalisasi baik positif ataupun negatif lebih jelas dan besar terjadi pada wilayah perkotaan”. Namun, untuk merumuskan lebih baik desa atau kota sifatnya sangat subjektif tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Karena semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Jadi, memilih tinggal di desa atau di kota semuanya baik ketika menerapkan nilai luhur budaya lokal, agama serta hukum negara Indonesia.

Penulis : Elvan Firmansyah (Relawan Metrouniv)

Related Posts

Post a Comment